Tanggung Jawab Pendidikan Anak Dalam Islam

Oleh: Ust. Asep Deni Hermawan, S.Sos.

06 Oktober 2023

Pendidikan anak adalah salah satu tanggung jawab terbesar dalam kehidupan ini. Pendidikan merupakan fondasi masa depan anak-anak dalam membentuk karakter, mengembangkan kemampuan, dan bekal menjalani kehidupan mereka. Pendidikan anak ini sebenarnya tanggung jawab siapa? Tanggung jawab ini perlu didefinisikan agar pemilik tanggung jawab benar-benar mempersiapkan diri dan menjalankannya dengan baik. Bukan sebaliknya, malah melempar tanggung jawabnya kepada pihak lain karena dia merasa bahwa hal tersebut bukan tanggung jawab utamanya.

Dalam Islam, tanggung jawab pendidikan anak ada pada orang tua. Syaikh Jamal Abdurrahman mengatakan dalam bukunya,: “mendidik dan mengajar anak merupakan kebutuhan pokok dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh semua orang tua.” Kemudian beliau mengutip satu ayat Al-Quran:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)

Al-Imam Ibnu Katsir, rahimahullah, ketika menafsirkan ayat ini, Beliau mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib: أدبوهم وعلموهم (didiklah dan ilmuilah mereka). Maka tanggung jawab pendidikan adalah sebuah kewajiban yang melekat pada orang tua sebagaimana kewajibannya menjaga diri dan keluarga dari api neraka.

Dalam bukunya yang berjudul منهاج التربية النبوية للطفل, Muhammad Nur Abdul Hafidz Suwaid menukil perkataan al-Imam Ghazali, rahimahullah, sebagai bentuk penguatan bahwa kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua:

“Anak adalah amanat di tangan kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah Mutiara yang masih mentah, belum dipahat maupun dibentuk. Mutiara ini dapat dipahat dalam bentuk apapun, mudah condong kepada kepada segala sesuatu. Apabila dibiasakan dan diajari dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh dalam kebaikan itu. Dampaknya, kedua orang tuanya akan hidup berbahagia di dunia dan akhirat. Semua orang  dapat menjadi guru dan pendidiknya. Namun apabila dibiasakan dengan keburukan dan dilalaikan -seperti dilalaikan hewan- pasti si anak akan celaka dan binasa. Dosanya akan melilit leher orang yang seharusnya bertanggung jawab atasnya dan menjadi walinya.”

 Kemudian Beliau menukil hadits Nabi ﷺ:

كل مولود يولد على الفطرة, وإنما أبواه يهودانه أي يمجسانه أو ينصرانه

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani.”

Salah satu ulama abad ke-8 Hijriyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, mengingatkan para orang tua perihal pendidikan anak. Beliau mengatakan dalam bukunya تحفة المودود في أحكام المولود:

“Barang siapa mengabaikan anaknya untuk diberi pendidikan yang baik dan tidak mau mengajarinya, berarti orang tersebut telah berbuat jahat kepada si anak. Pasalnya, perilaku buruk yang dilakukan anak-anak, biasanya itu berasal dari orang tua mereka. Para orang tua telah menelantarkan anak-anak mereka dan tidak mendidik mereka untuk mengetahui dan mengamalkan kewajiban dan sunnah-sunnah agama.”

Namun ada saatnya orang tua tidak memungkinkan mendidik anaknya sendiri, bisa disebabkan keterbatasan ilmu atau keterbatasan waktu yang dimiliki. Maka Islam mengajarkan agar orang tua seperti itu memilihkan guru untuk anak-anaknya belajar mengambil ilmu dari mereka. Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, beliau pakar sejarah Islam abad ini, menuliskan kisah Umar bin Abd al-Aziz ketika menjadi khalifah, memilih Sahal dan Shalih bin Kaisan untuk mendidik anak-anaknya. Umar bin Abd al-‘Aziz adalah seorang yang berilmu, tentu memiliki bekal yang cukup untuk mendidik anaknya sendiri. Namun perannya sebagai seorang khalifah Bani Umayyah, membuat dia tidak memiliki waktu yang cukup untuk membekali anaknya dengan ilmu yang diharapkannya. Maka dia memilihkan guru-guru terbaik bagi anaknya untuk mendidik mereka.

Di masa kini, tradisi mencarikan guru digantikan menjadi mencarikan sekolah. Sekolah mengumpulkan para guru di satu tempat, kemudian memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak yang orang tua mereka tidak bisa memberikannya pendidikan dan pengajaran di dalam keluarga. Sayangnya, dengan hadirnya sekolah, tidak sedikit orang tua merasa bahwa tanggung jawabnya mendidik anak sudah lepas ketika sudah menitipkan anaknya ke sekolah atau madrasah. Terlebih jika orang tua memilih lembaga pendidikan berupa pondok pesantren yang menempatkan anaknya berada jauh darinya karena mereka harus tinggal di asrama. Padahal seharusnya tidak demikian, tanggung jawab terbesar mendidik tetaplah berada di pundak orang tua. Murray & Harrison mengatakan, bahwa anak menjadi siap dalam keberhasilan akademis awal ketika orang tua dan gurunya mendukung. Maka peran orang tua dalam pendidikan tetap dibutuhkan walau anak sudah berada di lingkungan asrama pondok pesantren. Dibutuhkan kerjasama yang baik dan konstruktif antara orang tua dengan pondok pesantren untuk mencapai keberhasilan pendidikan anak.

Hubungan kerjasama antara pesantren dan dan orang tua santri sangatlah penting. Jika hubungan kerjasama ini tidak terjalin dengan baik, maka akan berimplikasi pada penurunan atau kemunduran kualitas proses belajar santri, yang tentu di ujungnya akan menurunkan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Kondisi lebih parahnya adalah saling menyalahkan satu sama lain. Orang tua menyalahkan pesantren karena merasa tanggung jawabnya sudah diserahterimakan, sisi lain pesantren juga menyalahkan orang tua karena tidak ada support secara moril. Oleh karena itu, langkah-langkah yang dapat mendukung terlaksananya kerjasama dan berbagi peran yang baik antara orang tua dan pesantren itu diperlukan. Diantara caranya adalah dengan mengadakan pembinaan atau edukasi kepada orang tua santri yang dilakukan oleh pondok pesantren. Tujuannya, agar visi-misi pendidikan yang diusung oleh pondok pesantren mendapatkan penguatan signifikan dari pola asuh orang tua santri di rumahnya masing-masing.

 Bacaan lebih lanjut:

  1. Parenting Nabawiyah, terjemah dari أطفال المسلم, كيف رباهم النبي الأمين, yang ditulis oleh Syaikh Jamal Abdurrahman
  2. Prophetic Parenting, terjemah dari منهاج التربية النبوية للطفل, yang ditulis Dr. Muhammad Nur Abdul Hafidz Suwaid
  3. Pendidikan Anak Dalam Islam, terjemah dari تربية الأولاد في الإسلام, yang ditulis oleh Dr. Nashih Ulwan
  4. Hanya Untukmu Anakku, terjemah dari  تحفة المودود في أحكام المولود, yang ditulis oleh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

©2023. Baiturrahman. All Rights Reserved.

Scroll to Top