Seribu Kelopak Ketenangan

“Kisah Ayyub dan Kebijaksanaan”

Oleh : Ust. Achmad Fahrisi, S.Pd.

23 Maret 2024

وَاذْكُرْ عَبْدَنَآ اَيُّوْبَۘ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الشَّيْطٰنُ بِنُصْبٍ وَّعَذَابٍۗ

“Ingatlah hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya, “Sesungguhnya aku telah diganggu setan dengan penderitaan dan siksaan (rasa sakit).”

***

Dalam lembayung waktu yang berjalan dengan sabar, terhamparlah kisah seorang nabi yang diangkat oleh Sang Pencipta, Nabi Ayyub ‘alaihis salam. Ia adalah penjaga rahasia ketabahan, yang merangkai cerita indah keuletan dan kesabaran di tengah badai cobaan.

Nabi Ayyub, putra dari Aish bin Ishaq bin Ibrahim, membawa beban risalahnya dengan penuh keikhlasan. Seperti sungai yang mengalir dengan ketenangan, begitulah ketenangan hati Ayyub saat ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1500 SM. Dengan nama yang mengandung makna “menggantikan,” ia menjadi pengganti keheningan dengan pesan ilahi.

Keindahan keluarga Nabi Ayyub merefleksikan kekayaan sejati yang ada dalam hati. Dua puluh enam anak menjadi saksi bisu kebahagiaan, namun ujian datang seperti badai yang merobek-robek keluarga bahagia itu. Kekayaan yang melimpah sirna, anak-anak yang dicintai pergi satu per satu. Namun, tak sekelam hitam malam, hati Ayyub tetap bersinar dengan cahaya kesabaran.

Cobaan terberat datang bagaikan badai penyakit yang merayap dalam tubuhnya. Ayyub, sang penjaga sabar, menghadapi ujian ini dengan keteguhan yang luar biasa. Tubuh yang dulu sehat dan kuat, kini terhimpit oleh penyakit yang menggigit tulang dan menguras kekuatan. Namun, dalam setiap tarikan nafas yang terasa seperti peperangan, Ayyub tetap berserah diri kepada Sang Pemberi Ujian.

Ketika sebagian besar dunia akan menyerah pada kekalutan ujian, Ayyub tetap berdiri. Kekasihnya, sang istri tercinta, meninggalkannya dalam keheningan. Namun, cinta yang abadi terpatri dalam hati Ayyub, dan ia melangkah maju dengan langkah-langkah yang penuh makna.

Dalam keterasingan di Huran, Syam, Ayyub menggenggam tangan kesabaran. Matahari dan bulan bersaksi atas ketabahan seorang hamba yang tak pernah mengeluh. Dalam doanya yang tak pernah putus, Ayyub meminta kekuatan untuk melanjutkan perjalanannya di tengah padang pasir ujian.

Hingga akhir hayatnya, Nabi Ayyub tetap memancarkan cahaya keimanan dan ketenangan. Kematian baginya bukanlah kekalahan, melainkan kemenangan atas ujian yang ditempuh dengan kemuliaan. Kisahnya yang ditorehkan dalam lembar-lembar Al-Quran menjadi sumber inspirasi bagi setiap jiwa yang mengarungi lautan kehidupan.

Dan di tengah-tengah riwayat Nabi Ayyub, kita menemukan sebuah pelajaran berharga: bahwa sabar adalah mahkota yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang tulus dan tabah. Sebab, hanya dalam sabar, cinta, dan kesetiaan kepada-Nya, seorang hamba mampu menjadi cahaya di tengah gelapnya malam ujian.

***

Dalam senja yang tenang, Nabi Ayyub ‘alaihis salam merenung di atas bukit yang menjulang. Cahaya mentari senja menyinari wajahnya yang penuh kebijaksanaan. Namun, di dalam hatinya yang bersih, terdengar bisikan lembut namun merayu dari setan yang menghampiri.

Setan menjelma sebagai bayangan yang gelap, berusaha merayu keimanan yang kokoh. Dengan bisikan yang lembut namun tajam, setan mencoba menggoda hati Nabi Ayyub. “Wahai Ayyub, betapa engkau diberi limpahan harta yang melimpah, anak-anak yang beraneka ragam, dan kesehatan yang tiada tara. Engkau adalah nabi yang penuh berkah, sungguh engkau lebih istimewa dari yang lain.”

Namun, Nabi Ayyub tidak tergoda oleh rayuan setan. Dengan pandangan yang tajam dan hati yang tulus, ia menjawab, “Apa yang kumiliki adalah anugerah dari Allah, Pemberi Segala. Aku tidak lebih istimewa, hanya hamba yang bersyukur.” Setan mengerutkan kening, merasa kekalahan dalam bisikan rayuannya.

Namun, setan tak menyerah begitu saja. Dengan siasat baru, ia melanjutkan bisikannya, “Ayyub, apakah engkau benar-benar merasa pantas menerima ujian dan cobaan ini? Bukankah engkau seorang nabi yang saleh? Allah seharusnya memberikan kesejahteraan tanpa cela bagimu.”

Namun, Nabi Ayyub tetap tak tergoyahkan. Dengan tawa kecil yang penuh kebijaksanaan, ia menjawab, “Tidaklah aku merasa pantas atau tidak pantas. Allah menguji hamba-Nya sesuai dengan hikmah-Nya. Dan aku yakin, di balik setiap ujian, ada rahmat dan kebijaksanaan-Nya yang tidak terduga.”

Setan merasa kebingungan, karena keimanan Ayyub tidak dapat digoyahkan oleh rayuannya. Dalam ketenangan senja, Nabi Ayyub melanjutkan doanya, memohon kekuatan untuk menjalani ujian dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.

Seiring senja meredup dan malam menjelang, bayangan setan pun perlahan-lahan menghilang. Nabi Ayyub ‘alaihis salam tetap teguh di atas bukit, menjadi pancaran cahaya dalam kegelapan godaan setan. Karena bagi Ayyub, kekayaan sejati adalah keimanan yang tak tergoyahkan, dan kebahagiaan sejati adalah ridha dengan ujian yang datang dari Sang Pencipta.

***

Pada malam yang sunyi, Nabi Ayyub ‘alaihis salam merasakan bayangan gelap yang melingkupinya. Penyakit, datang bagaikan badai yang merobek kesehatan dan kebahagiaannya. Dalam hembusan angin malam yang dingin, harta benda yang melimpah sirna, anak-anak yang bermain riang kini hilang dari pelukannya.

Penyakit itu, sebuah ujian yang tak terbayangkan, menempa tubuh Ayyub dengan rasa sakit yang tiada tara. Hatinya yang dulu penuh kelimpahan kini terguncang oleh derita yang tak terperikan. Setiap hela nafas membawa perasaan duka yang mendalam, namun, keimanan Ayyub tetap seperti bintang yang bersinar dalam kegelapan.

Dalam kesendirian yang menggelayut seperti kabut, Nabi Ayyub terdampar di tanah yang bukan lagi kampung halamannya. Kehilangan harta dan keluarga membawanya pada titik nadir kehidupan. Tapi, ia tidak meratapi nasib buruk, melainkan menengadahkan wajahnya kepada langit yang penuh rahmat.

Di antara reruntuhan kehidupan, Ayyub tetap berlutut dalam doa. “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui segala ujian yang Engkau berikan. Aku menerima dengan hati yang pasrah, karena hanya Engkaulah penentu segala-galanya.” Rasa sakit dalam tubuhnya menjadi seruan doa yang tak putus, seolah-olah setiap derita yang dirasakannya adalah bait-bait doa yang diukir dalam keheningan malam.

Sementara itu, setan kembali muncul, mencoba memanfaatkan kelemahan fisik Ayyub untuk menggoyahkan keimanan. Namun, Ayyub hanya tersenyum, dan berkata, “Sakit ini hanyalah sementara, tetapi iman ini abadi. Allah telah menguji dan aku yakin, di setiap ujian, ada hikmah dan rahmat-Nya yang luar biasa.”

Dalam keterbatasannya, Ayyub menemukan kekayaan sejati. Kekayaan yang tak bisa dicuri oleh waktu atau dihancurkan oleh penyakit. Ia menemukan kedalaman iman dan kebijaksanaan yang tak tergoyahkan oleh cobaan. Meski dunianya terasa hancur, hatinya tetap utuh dan bersinar dengan cahaya keislaman.

Dan di tengah penderitaan yang tak terkira, Nabi Ayyub ‘alaihis salam menemukan kedamaian yang hakiki, menyadari bahwa ujian ini adalah secercah cahaya yang membawanya lebih dekat kepada Sang Pencipta.

***

Dalam kabut pagi yang mulai menghilang, matahari timbul dengan sinar keemasan. Nabi Ayyub ‘alaihis salam, yang telah menjalani ujian penyakit yang memporak-porandakan kehidupannya, kini berdiri tegak dalam cahaya kebahagiaan yang baru.

Seiring waktu berlalu, dan dengan doa yang penuh ketabahan, penyakit yang melanda tubuh Ayyub berangsur pulih. Tubuhnya yang dulu terasa lumpuh oleh derita, kini pulih dengan kekuatan yang lebih besar. Seolah-olah setiap langkahnya adalah tanda syukur kepada Sang Pemulih yang telah mendengar doanya.

Dengan syukur yang tak terhingga, Nabi Ayyub melangkah pulang, menyusuri tanah yang pernah menjadi saksi derita dan kesabaran. Dan di kampung halaman yang dulu terpisah oleh ujian, ia mendapati keajaiban yang tak terkira.

Keluarganya yang telah berkembang biak menjadi dua kali lipat dari sebelumnya menyambutnya dengan sukacita. Anak-anak yang dulu hilang dari pelukan kasihnya, kini berkumpul kembali seperti bintang-bintang yang bersinar di malam gelap. Istri tercintanya, yang pernah meninggalkannya dalam kesendirian, kini kembali dengan senyuman yang penuh kasih.

Di sekeliling rumah yang dulu sunyi, kini terdengar riangnya suara anak-anak, dan aroma harum masakan dari dapur yang bersajian. Nabi Ayyub ‘alaihis salam menatap keluarganya dengan mata penuh syukur, merasakan keajaiban kasih dan kesatuan yang mengalir dalam setiap detiknya.

Dalam kebahagiaan yang seolah tak terhingga, Nabi Ayyub memeluk satu persatu keluarganya, sebagai tanda syukur kepada Allah yang telah menguji kesabarannya dan memberinya pahala yang melimpah. Ia mengenang masa sulit yang telah dilewati, bukan dengan penuh kebencian, melainkan sebagai tanda bagaimana ujian dapat membawa kebijaksanaan, keimanan, dan akhirnya, kebahagiaan yang hakiki.

Dan di bawah cakrawala yang cerah, Nabi Ayyub ‘alaihis salam bersama keluarganya melangkah menuju masa depan yang penuh berkah. Mereka adalah bukti bahwa setiap cobaan akan berakhir, dan setiap kesabaran akan mendapatkan ganjaran yang lebih besar dari Sang Pemberi Ujian.

***

Dalam cobaan yang memayungi kehidupan Nabi Ayyub ‘alaihis salam, terbersit pula detik-detik kelam yang mencoreng lembaran kesabaran dan kebijaksanaannya. Isterinya, Rahmah binti Ifraim, pergi meninggalkan rumah tanpa izin suami, membawa pergi ketenangan dan keharmonisan yang selama ini menjadi jalinan kasih di antara mereka.

Saat Nabi Ayyub mulai sembuh dari penyakitnya yang berat, kepergian isterinya menjadi bahan ujian tambahan yang berat. Hati yang sebelumnya terguncang oleh derita penyakit, kini terguncang lagi oleh ketidakpastian dan rasa kehilangan. Dalam keputusasaan yang melanda, Ayyub merenung dan berpikir tentang sumpah yang telah diucapkannya.

Penuh kepiluan, Nabi Ayyub bersumpah untuk memukul isterinya seratus kali, sebagai ekspresi kekecewaan dan amarah yang meluap-luap. Namun, seiring dengan sembuhnya tubuhnya, juga muncul kebijaksanaan yang mengalir dalam hatinya. Meski amarahnya berdentang keras, namun di dalam hati, ia merasa kepedihan dan kasihan yang dalam terhadap isterinya.

Ketika Rahmah binti Ifraim akhirnya kembali, Nabi Ayyub menemui jalan keluar yang penuh belas kasihan. Dengan bijaksana, ia menyadari bahwa kepedihan dan kesalahan bukanlah jalan terbaik untuk mengungkapkan kekecewaan. Dalam ketenangan dan kebijaksanaan, ia meminta petunjuk dari Allah untuk memenuhi sumpahnya tanpa melukai hati isterinya yang sudah cukup terpukul.

Allah Yang Maha Pengasih memberikan petunjuk yang luar biasa. Dengan rasa kasihan dan kebijaksanaan, Ayyub meminta isterinya untuk berbaring, dan dengan lembut, ia memukulnya seratus kali dengan beberapa helai rumput, bukan dengan cambuk atau cemeti yang dapat melukai. Inilah cara Allah menunjukkan bahwa kasih sayang dan kebijaksanaan dapat mengatasi amarah dan kekecewaan.

Dalam luka yang terjadi, tidak ada derita yang membuat isteri Ayyub merasakan sakit yang mendalam. Hati yang lembut dan bijaksana telah merajut kembali benang-benang kasih di antara mereka. Di sinilah tergambar betapa kebijaksanaan dan kasih sayang lebih kuat daripada amarah, dan bahwa setiap ujian dapat menjadi pelajaran bagi jiwa yang tulus dan sabar.

***

HIKMAH

Dalam gugusan bintang yang menyusun kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam, terukir hikmah-hikmah yang bersinar seperti sinar mentari pagi. Kisahnya bukan sekadar garis-garis hitam di halaman sejarah, melainkan puncak dari kebijaksanaan dan kesabaran yang menjadikan setiap ujian sebagai mahkota kemenangan.

Dalam detik-detik kehancuran hidupnya, Ayyub mengajarkan bahwa kesabaran adalah cahaya yang memandu melalui terowongan kegelapan. Seperti bunga yang mekar di tengah badai, keimanan dan ketabahan membuktikan bahwa setiap ujian adalah penjalin rahmat dari Sang Pencipta.

Hikmah yang menyejukkan hati adalah pelajaran tentang syukur. Ayyub mengajari bahwa bersyukur bukan hanya saat hidup penuh kemewahan, melainkan juga di tengah hujan cobaan yang mengguyur. Dalam setiap hela nafas yang disertai rasa sakit, Ayyub bersyukur karena menghargai karunia hidup yang tak ternilai.

Dalam peluh dan tangis kesendirian, Nabi Ayyub menunjukkan bahwa hati yang tulus dan bersih akan tetap bersinar meski tubuh terguncang oleh ujian. Hikmah ini menjadi seruan untuk menjaga hati agar tetap tenang dan bersih, sekalipun dunia seakan runtuh di sekitar kita.

Dan kemudian, dari kisah tentang sumpah seratus kali, kita belajar tentang kebijaksanaan yang mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Nabi Ayyub mengajarkan bahwa amarah dan kekecewaan dapat diatasi dengan kelembutan dan kasih sayang. Pukulan seratus kali yang dihantarkan dengan beberapa helai rumput menggambarkan bahwa kekuatan sejati terletak dalam kelembutan hati.

Seiring langkah Ayyub yang melintasi pasir ujian, kita memahami bahwa rahmat Allah mengalir tanpa henti bagi mereka yang sabar. Hikmahnya mengecilkan beban kesulitan, mengubah setiap ujian menjadi panggung keajaiban yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.

Dengan hikmah-hikmah yang gemilang dari kisah Nabi Ayyub, kita diajak merenung di taman bunga ketabahan dan keimanan. Dan di sela-sela kelopak bunga yang mekar, kita menemukan bahwa setiap ujian adalah utas indah dalam kain yang ditenun oleh tangan Sang Pencipta.

***

Di lautan derita, Nabi Ayyub melaut,

Bertahan di badai, hati tak goyah.

Kisah keajaiban, taburan hikmah,

Ketabahan mahkota, menyala di langit malam.

 

Dalam kesendirian, doa jadi teman,

Pohon kesabaran, tumbuh di padang pasir.

Sinar mentari, celah di awan kelam,

Ketika ujian datang, ia berserah pada yang Kuasa.

 

Bunga-bunga syukur, mekar di setiap hela nafas,

Penyakit bukan beban, melainkan doa yang berkata.

Dalam pukulan seratus, ada lembut di balik kasar,

Helai rumput menyampaikan cinta, bukan kebencian yang tak berkesudahan.

 

Kisah Ayyub, bait-bait syair yang berseri,

Pelajaran indah, di taman hati yang terbuka.

Rahasia dalam sabar, titik cahaya kebijaksanaan,

Dalam setiap ujian, ada tanda kasih-Nya yang teramat dalam.

©2024. Baiturrahman. All Rights Reserved.

Scroll to Top