7 Oktober 2023, sebuah serangan dilancarkan oleh Pejuang Hamas di Negeri Para Nabi, Palestina, ke sejumlah tempat yang dikuasi penjajah Zionis. Hari itu menjadi awal tercorengnya reputasi Iron Dome dan badan inteligen israel. Para pejuang Hamas meluncurkan serangkaian rudal yang tidak terdeteksi dengan baik oleh sistem Iron Dome. Beberapa dari rudal ini berhasil melewati pertahanan rudal tersebut dan mengenai daerah yang seharusnya aman. Serangan ini mengejutkan banyak pihak, karena Iron Dome yang diklaim sebagai interceptor yang sangat canggih dan efektif ternyata jebol juga.
Serangan yang dikenal dengan tagline #طوفان الأقصى (Badai Al-Aqsha) juga meruntuhkan reputasi badan intelijen Israel yang disebut-sebut sebagai intelijen terbaik di dunia. Para Pejuang Palestina ini mampu merencanakan serangan dengan baik dan menjalankannya tanpa terdeteksi oleh badan intelijen zionis. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan intelijen Israel untuk mengidentifikasi ancaman potensial dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat.
Sejak 7 Oktober 2023 tersebut sampai saat tulisan ini dibuat (7/11), peperangan antara Pejuang Palestina dengan penjajah zionis terus berlangsung. Penjajah zionis semakin kalap dengan membombardir pemukiman warga bahkan fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit menjadi sasaran mereka. Maka unjuk rasa dan demo besar-besaran terjadi di berbagai negara baik negara. Bukan hanya di negara-negara berpenduduk muslim, bahkan negara-negara yang dikenal sekuler seperti Amerika, Inggris, Rusia, dan sebagainya, menuntut agar zionis diadili sebagai penjahat perang yang sudah melakukan pembantaian kepada rakyat di tengah peperangan ini.
Di tengah suasana seperti ini, saya ingin membuat review singkat sebuah buku yang pernah dibedah di sebuah TV di Israel dalam bahasa Ibrani. Dalam bedah buku tersebut, para narasumber (zionis) mendesak upaya membendung kesadaran umat Islam yang semakin kuat, yang kesadaran tersebut akan menjadi ancaman serius bagi eksistensi negara zionis Israel.
Buku ini hadir di Indonesia diterjemahkan oleh Ustadz Asep Sobari, pendiri SCI (Siroh Community Indonesia), sekaligus salah seorang peneliti Insist (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations). Pertama kali diterjemahkan pada tahun 2007 dengan judul “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib,” judul yang cukup sulit dipahami. Kemudian penerjemah mendapatkan saran dari Dr Adian Husaini, salah satu cendekiawan muslim yang pakar di bidang pendidikan Islam, maka berubahlah judulnya menjadi “Model Kebangkitan Umat Islam (Upaya 50 Tahun Gerakan Pendidikan Melahirkan Generasi Shalahuddin dan Merebut Palestina)” yang mulai dicetak pada tahun 2019.
Sebagai seorang pakar dalam bidang sejarah dan pendidikan, Dr Majid ‘Irsan al-Kilani mampu menganalisis penyebab keterpurukan umat Islam di masa perang salib dari sudut pandang ilmu pendidikan. Kemudian beliau menjelaskan konsep kebangkitan Islam melalui jalan pendidikan sebagaimana pernah digagas oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali, yang dilanjutkan estafetanya oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan ulama-ulama lainnya.
Beliau merupakan salah satu keturunan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang tumbuh di keluarga terdidik nan disiplin. Kecintaannya terhadap ilmu mengantarkannya menjadi cendekiawan muslim yang berkarya dalam bidang pendidikan. Buku-buku yang ditulisnya menjadi rujukan para sarjana muslim dalam ilmu pendidikan islam, diantaranya trilogi Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah yang salah satunya berjudul Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah (Filsafat Pendidikan Islam) meraih penghargaan al-Farabi International Award di tahun 2008 dengan mengungguli 128 karya lainnya dari seluruh negara.
Tragedi pembantaian penduduk Palestina oleh penjajah zionis saat ini, bukan yang pertama. Sudah berpuluh-puluh kali sejak 1948 penjajah zionis mengusir, membunuh, membantai penduduk Palestina dari negeri mereka sendiri. Dan apa yang bisa dilakukan oleh negara-negara yang mayoritas muslim yang dipimpin orang Islam? Tidak ada. Kecuali hanya menghimbau, mengutuk, berpidato di rapat-rapat PBB yang sama sekali tidak menjadi solusi bagi penduduk Palestina dan tidak menjadi pelajaran bagi penjajah zionis.
Buku ini hadir dengan terlebih dahulu memberikan gambaran suasana masyarakat muslim saat Al-Quds dicaplok oleh tentara salib yang relate dengan kondisi muslim saat ini. Di dua bab pertama kita akan disuguhi gambaran umum kondisi kaum muslimin saat itu yang sudah sangat sedemikian rapuh. Saking rapuhnya dari berbagai aspek kehidupan, sampai-sampai kepemimpinan Islam yang sangat besar bernama kekhilafahan itu sudah tidak lagi berfungsi melindungi kaum muslimin dari serangan tentara salib. Bagi saya, membaca dua bab ini sangat melelahkan, karena fakta-fakta yang disuguhkan Dr. Majid itu sangat menguras emosi.
Mereka bertengkar dengan sesama muslim yang berbeda mazhab, salih tahdzir sana-sini dan saling membanggakan mazhabnya masing-masing, penulis menyebutnya dengan istilah المذهبية (mazhabisme). Setiap madzhab menganggap hanya madzhabnya lah yang benar sementara yang lainnya salah, kemudian mereka saling membangga-banggakan mazhabnya di atas mazhab yang lain. Diantara potret berbangga-bangga yang ditulis salam buku ini, “para pengikut mazhab Hambali memandang para pengikut Asy’ariyah sebagai pesaing yang akan merusak dakwah.” Demikian juga dengan para pengikut Asy’ariyah berbangga diri dan merendahkan pengikut Hambali dengan mengatakan: “Jika ada seorang Hambali yang membantah ahli bid’ah, maka pasti dia menggunakan argumen mazhab Asy’ari.” Bahkan di level yang lebih berat Umar bin Ahmad bin Utsman bin Syahin mengatakan: “ada dua orang shaleh yang dinodai para pengikutnya yang buruk, yaitu Ja’far bin Muhammad dan Ahmad bin Hanbal.” Bukankah gambaran ini persis terjadi dihadapi kaum muslimin hari ini? Sebagian kaum muslimin menyerang muslimin yang lain, saling membid’ahkan, saling menyesat-nyesatkan, dan masing-masing merasa berjasa dengan usaha dakwahnya.
Selain masalah mazhabisme, kondisi umat Islam juga digerogoti dari dalam dengan hadirnya kaum sufi yang ekstrim (ghuluw) bahkan sampai keluar dari syariat. Selain sufi ekstrim, juga hadir gerakan kebatinan yang didirikan oleh para aristokrat Persia dan sekte ektrem Syi’ah yang mereka dikenal dengan Hasasyiyun, dan para filsuf yunani yang menyusup ke alam pemikiran kaum muslimin. Sehingga rusaklah pola pikir kaum muslimin dan terjauhkan dari syariat Islam itu sendiri. Diantara contoh rusaknya pola pikir saat itu adalah seperti konsep bahwa keikhlasan itu tidak dapat diraih kecuali jika manusia sudah dipandang hina oleh manusia lainnya. Sehingga di masa itu, tidak sedikit orang yang bekerja di pasar sepanjang hari, kemudian hasilnya disedekahkan sampai habis. Adapun untuk menghidupi diri dan keluarga mereka mengemis kepada manusia.
Berangkat dari keterpurukan kaum muslimin itu, para ‘alim rabbani saat itu berusaha menghadirkan solusi dan perubahan dalam sisi pendidikan. Bab ketiga menyuguhkan geliat awal perubahan dan ishlah menuju kebangkitan. Gerakan perubahan dan islah ini melalui dua fase penting: (1) perubahan melalui jalur politik; (2) perubahan nilai dan aqidah (keyakinan). Fase pertama ini tidak bisa dilepaskan dari kiprah besarnya seorang menteri dari Kerajaan Bani saljuk yaitu Nizhamul Mulk. Beliau membangun universitas-universitas yang dikenal dengan Madrasah Nizhamiyah. Nizhamul Mulk adalah menteri yang berpemikiran lurus dan memiliki kemampuan manajemen yang handal. Beliau dibantu oleh para ulama hebat seperti al-Imam al-Juwaini (Imam al-Haramain), Abu Ishaq asy-Syirazi, Abu al-Qasim al-Qusyairi, Abu Ali al-Farandi, dan Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazzali.
Setelah menteri Nizhamul Mulk wafat, perkembangan Madrasah Nizhamiyah semakin memburuk dengan hadirnya para oportunis yang mengajar di madrasah demi menjadi orang dekatnya menteri dan sultan dengan tujuan mendapatkan keuntungan dunia. Maka dimulailah gerakan pembaruan dan islam fase kedua yang digagas oleh Hujjatul Islam al-Ghazzali dengan membangun madrasah sendiri. Reformasi pendidikan dimulai dengan perbaikan nilai dan aqidah. Al-Ghazali memulai langkah reformasinya dengan dua langkah penting: (1) mengevaluasi semua pemikiran, keyakinan, dan persepsi masyarakat; (2) mengevaluasi kecenderungan jiwa dan tujuan pendidikan. Gerakan perubahan dan ishlah ini tidak berhenti di tangan al-Ghazali, beliau mampu mengestafetkan tujuan mulianya yang dilanjutkan oleh para penerusnya seperti Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, as-Suhrawardi, Syaikh Ruslan al-Ja’bari, Hayat bin Qais al-Harrani, ‘Aqil al-Manbaji, al-Hasan bin Muslim, dan ulama-ulama lainnya. Dari estafeta perjuangan pendidikan ini kemudian lahir satu generasi baru yang dikenal dengan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Penulis menyebut mereka sebagai جيل صلاح الدين (Generasi Shalahuddin), karena kehebatan Shalahuddin al-Ayyubi bukan kehebatan individual. Melainkan kehebatan dan kekuatan masyarakat secara kolektif. Seandainya tidak ada Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi, maka akan datang Nuruddin-Nuruddin yang lain atau Shalahuddin-Shalahuddin yang lain karena kualitas mereka merata secara kolektif.
Buku setebal 450 halaman ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Khususnya bagi para praktisi pendidikan: guru; dosen; para pengurus yayasan-yayasan pendidikan; bahkan para orang tua yang mendambakan lahirnya generasi berkualitas dari jalur nasabnya. Di awal tulisannya, penulis bahkan mendedikasikan buku ini untuk seluruh lapisan yang memiliki peluang melakukan perbaikan seperti para ulama, para raja dan penguasa negeri kaum muslimin, para ekonom, dan para pakar sejarah.
Kelebihan buku ini bisa menjadi pelecut untuk menggagas kembali kebangkitan kaum muslimin dalam rangka membebaskan al-Quds. Dia menghadirkan gagasan yang lengkap dengan langkah-langkah yang sudah terbukti dilakukan para pelaku sejarah di masa al-Ghazzali rahimahullah, yang mungkin bisa juga dilakukan oleh kita saat ini. Namun usaha melakukan kebangkitan ini tidak bisa dilakukan secara parsial hanya oleh guru misalnya, oleh orang tua misalnya, atau oleh sekolah. Upaya ini harus dilakukan secara berjamaah. Penulis mengatakan di bab terakhir: “ide-ide pembaruan dan ishlah tidak akan berpengaruh kecuali apabila pada kehidupan nyata terwujud dalam institusi-institusi pendidikan yang memiliki tujuan tulus dan operasional tepat.”
Bandung, 23 Rabiul Akhir 1445 H / 7 Nopember 2023 M