Mendekati tanggal 22 Oktober yang diperingati sebagai Hari Santri, penulis terpikir untuk menghadirkan penggalan makalah yang berisi tentang sejarah pesantren dan perjuangan para santri dan kiayi di masa penjajahan. Berikut adalah penggalan makalah yang pernah penulis buat dengan beberapa penyesuaian untuk dipublish di website www.baiturrahman.com.
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan umat Islam tertua yang telah mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam catatan sejarah, bahkan pondok pesantren telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Dikatakan bahwa ketika para pendakwah Islam abad ke-14 sampai ke-15, yang kita kenal dengan walisongo, mereka mendakwahkan Islam salah satunya dengan membangun lembaga pendidikan berupa pondok pesantren. Tercatat bahwa Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen, berdiri sejak tahun 1475 (abad ke-15 M) yang didirikan oleh Syaikh As-Sayyid Abdul Kahfi Al-Hasani. Beliau adalah salah seorang sayyid (keturunan Nabi Muhammad ﷺ yang berasal dari Hadramaut, Yaman). Salah satu contoh pesantren tertua di Jawa Tengah adalah Pondok Pesantren Dondong Semarang, yang berusia sekitar 412 tahun. Demikian pula, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin di Cirebon didirikan pada tahun 1705 oleh Syekh Hasanuddin bin Abdul Latif, yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Jatira. Ada banyak pesantren lainnya yang telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Bahkan ketika penulis membaca teori penyebaran Islam ke Nusantara sudah dilakukan di abad ke-7 M, penulis yakin bahwa para da’i (pendakwah Islam) mendirikan lembaga-lembaga atau majelis-majelis ilmu yang mungkin saat itu belum dinamakan pondok sebagaimana saat ini kita kenal istilah tersebut.
Diantara ciri khas pendidikan pesantren adalah, selain mendorong santrinya giat belajar dengan mengetahui keutamaan ilmu dan ahli ilmu, juga diajarkan untuk senantiasa berkhidmat. Berkhidmat berarti memberikan pelayanan atau pengabdian. Santri diajarkan untuk berkhidmat kepada gurunya untuk mendapatkan keridhaan gurunya dan kemanfaatan ilmunya. Dari pembiasaan khidmat inilah para santri memiliki mental siap mengabdi dan melayani ummat. Oleh karena itu, dalam perkembangannya di Nusantara, pondok pesantren bukan sekedar mengajarkan ilmu dan menjadi pusat penyiaran agama Islam, namun juga melebarkan ajarannya dan mempertajam kesadaran dan kepedulian sosial bagi santrinya. Maka sampai saat ini di kalangan pesantren ada mahfuzhat yang biasanya dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin Ismail Zain Al-Yamani yang berbunyi: العلم بالتعلم, والبركة بالخدمة, والمنفعة بالكاعة (ilmu diperoleh dengan belajar, barakah didapatkan dengan khidmat, dan manfaat ilmu diraih dengan ketaatan).
Dengan landasan itu maka tidaklah mengherankan Pondok Pesantren kemudian berada di garis terdepan dalam melawan penjajahan yang dilakukan bangsa eropa. Para ulama dan santri senantiasa siap berkhidmat berada di garda terdepan melindungi ummat dari penjajahan. Oleh karena itu musuh utama para penjajah Eropa di awal-awal mereka mencengkeramkan kuku imperialismenya adalah para santri dan ulama. Kalau kita membaca kembali perlawanan demi perlawanan yang dilakukan para pendahulu bangsa ini, maka akan kita temukan para ulama menjadi motor penggeraknya. Sebut saja beberapa nama pahlawah di awal-awal masa penjajahan, maka akan didapati nama para ulama:
Dalam sebuah jurnal, Ahmad Royani mengatakan bahwa Pasca perang Diponegoro, sejumlah ulama seperti seperti Kiai Abdus Salam Jombang, Kiai Umar Semarang, Kiai Abdurrouf Magelang, Kiai Muntaha Wonosobo, Kiai Yusuf Purwakarta, Kiai Muta’ad Cirebon, Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo bersama muridnya Kiai Abdul Manan Pacitan adalah sisa pasukan perang Diponegoro yang membangun jejaring ulama Nusantara baik lokal maupun internasional yang aktif melawan penjajahan.
Para santri dan ulama terus berjuang sampai pada detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebutlah para tokoh-tokoh yang dikenal di awal tahun 1900-an seperti: HOS Tjokro Aminoto (Pendiri Syarikat Dagang Islam untuk membendung VOC), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Hadratus Syaikh Hasyim As’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama), KH Ahmad Sanusi (Pendiri PUI sekaligus anggota BPUPKI), dan lainnya adalah para ulama yang berkontribusi membebaskan bangsa besar ini dari penjajah Belanda. Bahkan ketika kita menyebutkan tokoh sebesar Jenderal Sudirman dan Ir. Sukarno, mereka dikenal sebagai santri yang berjasa terhadap kemerdekaan Indonesia. Jendral Sudirman adalah seorang santri kemudian menjadi ustadz di Sekolah Dasar Muhammadiyah. Sementara Ir. Sukarno, santri yang pernah berguru kepada ulama sekelas HOS Tjokroaminoto dan Tuan Guru Ahmad Hassan (pendiri Persatuan Islam).
Apakah peran santri berhenti setelah kemerdekaan diraih? Tentu tidak. Sampai bulan Oktober 1945 belum ada negara manapun yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Sisi lain Belanda dengan sekutunya berusaha menyebarkan isu bahwa Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta adalah negara fasisme bikinan Jepang. Kemudian mereka datang kembali ke Indonesia yang baru berdiri untuk merebut kembali Indonesia dari tangan anak-anak negeri yang sudah membayar kemerdekaan dengan keringat, tangis, dan darah mereka.
Pada saat genting seperti inilah para ulama dan santri kembali menunjukkan kesetiaannya kepada negeri ini. Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai Rais ‘Am PBNU mengeluarkan Resolusi Jihad yang diputuskan dalam musyawarah NU se-Jawa-Madura pada tanggal 22 Oktober 1945. Maklumat Resolusi Jihad diqiaskan status muqim dalam shalat. Sehingga orang-orang yang berada di radius muqim (berdasarkan fiqih syafi’iyah) hukumnya fardu ‘ain berperang mengusir penjajah. Berikut petikan Resolusi Jihad yang diambil dari situs resmi NU: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”
Dampak dari Resolusi Jihad tersebut membuat semangat perlawanan terhadap penjajahan semakin berkobar khususnya di Jawa Timur. Para santri dan tokoh alim ulama semuanya turun mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Semangat mereka seperti semangat pasukan-pasukan Islam sebelumnya, “mereka adalah pasukan yang mencintai kematian sebagaimana para penjajah mencintai kehidupan.” Dengan izin Allah, para penjajah Eropa tersebut akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia dan negeri ini sampai sekarang.
Dengan melihat fakta sejarah santri yang sedemikian kuat di negeri ini, maka ada dua hal yang ingin penulis garis bawahi. Pertama, untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak benar jika pesantren, ulama dan santri ini adalah bibit-bibit terorisme. Karena gen santri adalah gen pejuang. Mereka akan mempertahankan tanahnya dimanapu berada dari rongrongan panjajah. Bahkan penulis berani berspekulasi, seandainya datang penjajah ke negeri ini baik penjajah dari negeri Barat maupun negeri Timur, atau bangsa Utara ataupun bangsa selatan, maka demi Allah, santri dan ulama pasti akan berdiri di garda terdepan untuk melawan penjajah tersebut.
Spekulasi ini bukan tanpa alasan. Silakan baca sejarah Murabbitun dan Muwahhidun, mereka adalah para santri yang berjuang mempertahankan tanah Andalus dari rongrongan penjajah Eropa. Baca sejarah para mujahidin yang melawan tentara salib di Baitul Maqdis, mereka adalah para santri madrasah-madrasah yang dibangun Al-Ghazali 50 tahun sebelumnya. Baca sejarah Palestina yang dicaplok zionis Israel pasca Perang Dunia, mereka yang gigih melawan penjajah Israel sampai saat ini adalah para santri yang mempelajari Al-Quran dan hidup di bawah naungan ilmu bersama para ulamanya.
Kedua untuk para santri. Kalian memiliki darah pejuang, memiliki DNA mujahid, yang senantiasa mengerahkan kemampuannya sampai titik maksimum untuk menegakan kebenaran. Maka tidak selayaknya santri menyerah dalam belajar hanya karena capek, penat, lelah, apalagi malas. Jika orang tua kita dahulu berhenti berjuang karena capek, karena lelah, karena sarana tidak mendukung, karena senjata tidak mumpuni (bambu runcing melawan senajata api), maka kita tidak akan merasakan udara kemerdekaan saat ini. Belajar memang penat, capek, dan melelahkan, namun bersabarlah. Karena manisnya belajar ilmu yang sebentar itu, akan dirasakan sepanjang hayat, sebagaimana kalimat al-Imam asy-Syafii (rahiamullah):
ومن لم يذق مر التعلم ساعة – تجرع ذل الجهل طول حياته
Siapa yang tidak merasakan pahitnya belajar walau sesaat
Maka dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya
Maka bersabarlah dan tegulah, wahai para pejuang (santri). Semoga Allah memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran, dan Allah anugerahkan kefahaman dan ilmu yang bermanfaat. Amiin
Pondok Pesantren Baiturrahman,
20 Oktober 2023 M / 5 Rabiul Akhir 1445 H