Ujian dan Puncak Kemenangan

“Berlayar di Samudra Keberkahan bersama Keluarga Ibrahim”

Oleh : Ust. Achmad Fahrisi, S.Pd.

19 Maret 2024

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

 

(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”

***

Dalam genggaman Al-Qur’an, kisah Nabi Isma’il (as) menghadirkan keajaiban yang memukau. Di padang pasir tandus, di mana setetes harapan bertabur, Isma’il bersama ibunya, Hajar, mempersembahkan kesabaran dan tawakkal. Saat matahari bersinar menyengat, air suci Zamzam muncul dari sentuhan lembut kaki kecil Isma’il, mengalir sebagai karunia di tengah padang pasir yang tandus.

Ketika Nabi Ibrahim (as) mematuhi perintah Ilahi untuk meninggalkan istrinya dan putranya di lembah yang sunyi, Hajar yang penuh keyakinan berkata, “Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan kami.” Dan sungguh, dalam momen ketika dahaga melanda, dan keputusasaan hampir mencengkeram, sungai kehidupan, Zamzam, menyatakan diri sebagai mujizat keajaiban.

Isma’il, anak yang tumbuh menjadi pemuda yang saleh, menyiratkan keteguhan hati dan kepatuhan yang luar biasa terhadap takdir Ilahi. Di antara gemuruh batu-batu di Mina, ketika pisau meluncur ke lehernya dalam ujian besar, Allah menurunkan domba pengganti sebagai tanda pengaburan pengorbanan. Kisah Nabi Isma’il mengukir jejak keimanan dan ketaatan yang menggetarkan, memperlihatkan betapa cinta dan taat kepada Allah membentuk sejarah yang abadi.

***

Pada suatu senja di bawah langit kemerahan, Ibrahim, Nabi yang diberkahi, membimbing Hajar dan putranya, Isma’il, melewati lembah-lembah yang sunyi. Sebuah panggilan suci yang mengalun dari langit memberitahu Ibrahim untuk menyelesaikan misi Ilahi. Dalam takdir yang berkisar di antara ujian dan kepercayaan, Ibrahim meninggalkan Hajar dan Isma’il di tengah lembah yang ditinggalkan oleh waktu dan air.

Sebuah kerelaan yang dalam menyelimuti hati Hajar, wanita yang penuh keimanan. “Allah pasti akan menyertai kita,” ucapnya dengan keteguhan yang melintasi batas keyakinan. Ibrahim, dengan hati berat, menuruti perintah Ilahi, meninggalkan mereka berdua. Lalu, di bawah sinar matahari yang memudar, Hajar dan Isma’il ditempatkan dalam ujian kesabaran yang luar biasa.

Ketika persediaan air mereka menipis dan tenggorokan kering, Hajar mencari air di antara dua bukit, Safa dan Marwah. Tujuh kali berlari-lari kecil, mencari tanda kehidupan di padang pasir yang keras. Dan betapa Allah yang Maha Pengasih menjawab doa seorang ibu yang tengah kebingungan. Zamzam, sumber kehidupan, muncul di sisi kecil Isma’il, mempersembahkan keajaiban di tengah keputusasaan.

Demikianlah dimulai kisah epik Nabi Isma’il, dengan jejak keimanan dan keteguhan ibunya, Hajar, yang menandai permulaan dari perjalanan luar biasa menuju takdir yang ditentukan oleh Sang Pencipta.

Di dalam dekapan matahari yang merayap menuju senja, Ibrahim, pemimpin yang diuji, membimbing Hajar dan Isma’il, malaikat yang berjalan di bumi. Langkah-langkah mereka melangkah ke lembah yang ditinggalkan oleh waktu, tempat dimana pohon-pohon kehidupan sudah lama tak merayakan dedaunan. Suara gemuruh langit memerintahkan Ibrahim untuk menyelesaikan perjalanan ini, sebuah ujian tanpa ujung yang tak segera diketahui.

Di tengah-tengah keheningan lembah, Ibrahim mencium dahaga dan matahari yang membara. Dengan penuh rasa keberanian dan taat, ia melepaskan pelukannya yang hangat pada Hajar dan Isma’il. Air mata Hajar, seperti embun di pagi hari, berkaca pada keberanian yang tak tergoyahkan. “Allah pasti akan menyertai kita,” bisiknya, mengukir janji kesetiaan dalam batu-batu waktu.

Dengan langkah yang pelan, Ibrahim melanjutkan perjalanannya, meninggalkan mereka di bawah cahaya senja yang terus memudar. Lalu dimulailah pertunjukan keteguhan hati seorang ibu dan kepolosan seorang anak. Ketika asupan air berkurang dan tenggorokan terasa kering, Hajar, wanita tangguh, mencari jawaban di antara dua puncak bukit, Safa dan Marwah.

Tujuh kali langkah kecil, tujuh kali larian kecil, seolah-olah mengeja doa yang terukir dalam jejak langkah. Safa dan Marwah menjadi saksi bisikan hati seorang ibu yang mencari keajaiban di antara pasir yang tajam. Dan di tengah lembah tandus, ajaiblah kemunculan Zamzam, air suci yang membasahi bibir Isma’il yang kering, menjadi karunia di tengah kesulitan.

Kisah Nabi Isma’il dimulai dari lembah kesunyian, melalui langkah ibu yang tanpa kenal lelah, dan dalam sorot mata anak yang menyimpan rahasia takdir Ilahi. Permulaan sebuah epik yang terukir dalam catatan takdir, di mana padang pasir tandus menjadi panggung kebesaran Sang Pencipta, dan tiap langkah, tiap detik kesabaran menjadi peta menuju tujuan yang agung.

Di lembah yang sunyi, Hajar dan Isma’il hidup dalam kesederhanaan dan keimanan yang mendalam. Zamzam, air yang ajaib itu, menjadi sumber kehidupan mereka di padang pasir tandus. Dengan tangan yang lembut, Hajar merawat putranya, membimbingnya melalui jejak waktu yang penuh dengan misteri dan ujian.

Isma’il, dengan mata yang penuh cahaya dan hati yang bersinar, tumbuh sebagai bunga yang kokoh di tengah padang pasir yang keras. Kedekatannya dengan alam dan keteguhannya dalam menghadapi segala ujian mencerminkan kebijaksanaan yang luar biasa dari pendidikan yang diberikan oleh ibunya.

Dalam ujian terbesar, ketika panggilan sang bapak, Ibrahim, mencapai Isma’il, ia menjawab dengan hati yang tulus. Dalam padang pasir Mina, di bawah langit biru yang luas, Isma’il bersiap menghadapi takdirnya. Hati Hajar, meski terguncang, tetap tenang dan tunduk pada ketetapan Ilahi.

Dengan tangan yang penuh pengabdian, Ibrahim bersiap untuk mengorbankan putranya, namun Allah dengan belas kasih menggantinya dengan domba yang suci. Keteguhan hati Ibrahim, kepasrahan Isma’il, dan kesetiaan Hajar menjadi puncak dari sebuah kisah keluarga yang tak terlupakan, diukir dalam hikmah dan rahasia kehidupan yang diberkahi.

Dengan tangan yang penuh berkah, Zamzam terus mengalir di tengah-tengah mereka, mengingatkan akan keajaiban dan keadilan Sang Pencipta. Begitu pula, kisah Nabi Isma’il mengalir dalam air zamzam, meresapi hati dan jiwa mereka yang mencari kebenaran dan kebijaksanaan dalam setiap lapisan pasir waktu.

***

Hajar, wanita penuh keimanan, melibatkan dirinya dalam perjuangan yang tak terukur, menjadi pelindung dan penuntun bagi Isma’il di dalam gersangnya padang pasir. Setiap butir pasir menjadi saksi bisu akan jejak langkahnya yang penuh cinta, setiap tiupan angin membawa kisah keberanian yang menggugah hati.

Di bawah cakrawala senja, ketika matahari melukiskan bayangan panjang di antara dune yang tak berujung, Hajar dan Isma’il bermain diantara gemuruh pasir yang terbawa angin. Hajar, dengan tangan lembutnya, mengajarkan putranya tentang nilai-nilai kehidupan di antara gemerlap bintang yang menerangi langit malam mereka.

Dalam bulan-bulan yang berlalu, Hajar menjadi guru bagi Isma’il, menyampaikan pelajaran tentang ketabahan, keikhlasan, dan cinta kepada Sang Pencipta. Mereka bersama-sama menyaksikan matahari terbit dan terbenam, mengikuti riak langit yang menyampaikan pesan-pesan tak terucapkan.

Pada malam-malam dingin di tengah lembah yang seakan berbisik sendiri, Hajar menyelipkan kehangatan cinta di antara tutupannya yang sederhana. Ia menjadi pohon yang tumbuh di padang pasir, melindungi anaknya dari terik matahari dan hembusan angin malam yang menusuk.

Saat Isma’il belajar meresapi rahasia alam dan mendengarkan bisikan angin, Hajar mengajarinya untuk memahami kehidupan dengan penuh kesederhanaan. Mereka mengejar bayangan rahmat Allah di setiap sudut padang pasir, dan setiap rintihan angin membentuk bagian dari lagu kehidupan mereka.

Dalam perjuangan Hajar mengasuh Isma’il, lautan pasir menjadi sekolah tanpa tembok, di mana pelajaran hidup ditulis oleh tangan waktu yang tak kenal lelah. Hajar, dengan doa dan kebijaksanaannya, membentuk Isma’il menjadi bintang yang bersinar di tengah gelapnya malam, menciptakan kisah kehidupan yang tak terhapus oleh angin waktu.

Dengan setiap terbenam matahari, Hajar dan Isma’il membangun jejak sejarah di tengah-tengah padang pasir yang tandus. Dari kebersamaan dan ketabahan mereka, lahir peradaban kecil yang bersinar di tengah gelapnya gurun yang tak berujung. Zamzam, air suci yang terus mengalir, menjadi sumber kehidupan bagi mereka dan calon-calon penduduk yang datang.

Dalam keheningan malam, bintang-bintang di langit menjadi saksi pertumbuhan peradaban yang tak terduga. Hajar dan Isma’il, dengan cinta dan keyakinan mereka, membangun tenda-tenda kehidupan di lembah yang dulunya sepi. Mereka meramu pengetahuan dari matahari terbenam dan bintang-bintang, memahami bahasa alam yang menjadi guru setia.

Seiring waktu, orang-orang yang merindukan kedamaian dan kebijaksanaan datang dari berbagai penjuru. Berita tentang sumber air suci yang tak pernah kering menyebar melalui angin gurun, membawa keluarga dan kelompok-kelompok yang haus akan kedamaian dan kehidupan yang berlimpah.

Dari kemah-kemah sederhana, mereka membangun pondok-pondok, dan dari pondok-pondok itu, perlahan namun pasti, muncul bangunan-bangunan yang menandakan awal mula pembentukan sebuah pemukiman. Dari debu dan pasir yang keras, lahan subur yang dilimpahi oleh berkah Zamzam berkembang di bawah sentuhan penuh keberkahan.

Sebuah masjid sederhana berdiri tegak, menjadi pusat spiritual bagi para penghuni gurun yang berkumpul untuk bersyukur dan berdoa. Perlahan, pasar-pasar kecil tumbuh, memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gurun tandus berubah menjadi oase kehidupan, di mana masyarakat yang beraneka ragam membentuk suatu keluarga besar.

Begitulah, di bawah cakrawala senja yang menyejukkan, dari gersangnya gurun pasir, timbullah sebuah peradaban yang lahir dari keimanan, kesabaran, dan harapan. Zamzam menjadi saksi bisu kisah-kisah yang diterjemahkan dalam doa dan usaha keras. Gurun pasir yang dahulu sunyi, kini menjadi saksi bisu pertumbuhan sebuah peradaban yang muncul dari jejak langkah Hajar dan Isma’il, menyatukan orang-orang dari berbagai suku dan bangsa dalam pangkuan yang damai dan sejahtera.

***

Ketika sinar mentari merangkul gurun pasir, membawa kehangatan pagi yang menjanjikan, tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh Ibrahim, sang bapak, untuk kembali bersama Isma’il, putra tercintanya. Dengan langkah yang penuh harap dan hati yang penuh rindu, Ibrahim tiba di tempat yang dulu ditinggalkannya dengan penuh kepasrahan kepada takdir.

Isma’il, penuh cahaya dan kebijaksanaan, menyambut sang bapak dengan senyum yang tulus. Dua jiwa yang saling mencari dan mencintai, kini bersatu kembali di bawah langit yang cerah. Mereka, yang terpisah oleh panggilan takdir, kini bersatu untuk membangun rumah suci, Baitullah, di mana cinta dan ketakwaan akan menciptakan ikatan yang abadi.

Di bawah cahaya matahari yang bersinar gemilang, Ibrahim dan Isma’il membangun fondasi Baitullah dengan cinta dan ketekunan yang melampaui batas manusia biasa. Setiap batu yang diangkat, setiap pahatan yang diciptakan, menjadi doa dan upaya untuk membangun tempat suci yang akan menyatukan umat manusia dalam ibadah dan penghormatan kepada Sang Pencipta.

Bersama-sama mereka bekerja, membangun dinding demi dinding, membentuk kubah yang akan menyentuh langit, dan merintis perjalanan panjang dari zamannya ke abad-abad yang akan datang. Suara peralatan yang berpadu dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca penuh khidmat mengalun sebagai simfoni kesucian.

Pada setiap lekuk Baitullah yang muncul, terukirlah harapan dan kepasrahan kepada takdir. Isma’il, putra yang menjadi mitra dalam pembangunan suci ini, memancarkan kebijaksanaan dan kecintaannya pada Sang Pencipta. Ibrahim, yang bersumpah untuk membangun rumah Ilahi, kini melihat visinya terwujud dalam keindahan dan kemuliaan Baitullah yang bersinar di tengah gurun pasir.

Dari padang pasir tandus yang pernah sepi, mereka menciptakan keajaiban. Bersama, Ibrahim dan Isma’il tidak hanya membangun Baitullah sebagai tempat ibadah, tetapi juga merintis warisan keimanan yang akan menyala di hati setiap penghuni yang datang, dari generasi ke generasi. Baitullah, menjadi saksi bisu ikatan abadi antara seorang bapak dan anak yang mengangkat beban cinta dan keimanan di atas pundak mereka, menuju keabadian yang dirancang oleh Sang Pencipta.

Ketika sinar mentari mengecat langit dengan warna-warna hangat senja, karya besar Ibrahim dan Isma’il mencapai puncaknya. Baitullah, bangunan yang anggun dan megah, melambangkan persatuan antara manusia dan Sang Pencipta. Di antara riuhnya gurun pasir, hadirlah keindahan yang memancar dari setiap dinding dan kubah.

Puncak Baitullah, menjulang tinggi menuju langit, seakan-akan mencapai tangan yang terbentang dari langit yang luhur. Cahaya matahari terbenam memeluk bangunan suci itu dengan kelembutan, merayakan kebesaran dan kehadiran Ilahi yang hadir di setiap detiknya. Dalam cahaya yang melambai, setiap ukiran dan pahatan di dinding Baitullah tampak hidup, menceritakan kisah kebijaksanaan dan kasih sayang Sang Pencipta.

Sejauh mata memandang, lautan umat manusia berkumpul, bersujud dalam kerendahan hati dan berdiri dengan tulus di hadapan pintu gerbang yang megah. Isma’il, dengan mata yang bersinar kebahagiaan, dan Ibrahim, dengan hati yang penuh syukur, melihat betapa Baitullah telah menjadi rumah bagi mereka yang mencari ketenangan, tempat berlindung bagi jiwa yang haus akan cahaya Ilahi.

Seiring senja yang memeluk, terdengarlah doa dari bibir para peziarah yang bersujud, memohon rahmat dan petunjuk dari Sang Pencipta. Suara tawaf yang berpadu dengan gemuruh doa, menciptakan harmoni indah yang menembus ruang dan waktu. “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, serta yang rukuk dan sujud (salat)!” Seakan-akan angin malam membawa pesan ini, meresapi hati setiap peziarah yang bersimpuh.

Makna yang tersembunyi dalam ayat suci itu menjadi jembatan yang menghubungkan Baitullah dengan hati-hati yang penuh kesungguhan. Bersihkanlah rumah-Ku, tidak hanya berbicara tentang membersihkan batu dan dinding, tetapi juga tentang membersihkan hati dan jiwa. Bagi mereka yang tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud, Baitullah bukan sekadar bangunan fisik, melainkan cerminan kebersihan batin, tempat untuk membersihkan hati dari segala kekotoran dunia.

Dan di tengah keramaian umat yang bersujud, Baitullah menjadi pintu gerbang kehadiran Ilahi. Dalam keheningan malam, bintang-bintang di atas Baitullah menyaksikan doa-doa yang dihaturkan, dan dinding-dinding suci itu menyimpan rahasia dari setiap langkah yang menghampiri-Nya.

Baitullah, dengan kemegahannya, mengajak umat manusia untuk membersihkan rumah-Nya, membangun hubungan yang lebih mendalam dengan Sang Pencipta, dan menemukan keindahan sejati dalam tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud di hadapan-Nya. Dengan berakhirnya senja, keagungan Baitullah tetap bersinar, menjadi lampu pemandu bagi yang mencari jalan menuju rahmat dan keberkahan Ilahi.

Pada malam yang sunyi, Baitullah menyapa langit dengan penuh keagungan. Cahaya bulan bersinar lembut memeluk setiap sudut, mengungkap keindahan detil-detil ukiran dan pahatan yang menjadi saksi bisu kisah perjalanan panjang pembangunannya. Kubah-kubah yang megah, seolah menyentuh bintang-bintang, berkilau dalam keindahan seni arsitektur yang tak tertandingi.

Bagai permata yang ditempatkan di pusat matahari terbenam, Baitullah memancarkan kecantikan dan keagungan yang tak terbatas. Dari sudut manapun yang dilihat, bangunan suci ini menyiratkan pesan ketuhanan, seolah-olah menciptakan jembatan langit-bumi yang menjembatani dimensi yang tak terlihat oleh mata manusia.

Pintu gerbangnya, didekorasi dengan ukiran-ukiran yang anggun, terbuka lebar mengundang peziarah dari seluruh penjuru dunia. Setiap langkah yang diambil di dalam pelataran Baitullah, seakan-akan menjadi doa yang terlantun dalam gemerlap cahaya yang terpancar dari seluruh penjuru. Detak hati yang penuh pengabdian dan kekhusyukan meresap di setiap rukuk dan sujud, membentuk alunan indah yang tak terdengar oleh telinga manusia.

Minaretnya menjulang tinggi, menunjukkan jalan bagi umat yang mencari kebenaran. Azan yang dilaungkan dari puncak minaret, sebagai panggilan suci, merambah ke seluruh penjuru, mengingatkan akan kebesaran Sang Pencipta dan kehadiran-Nya yang senantiasa mengawal.

Pada malam-malam tertentu, ketika bulan purnama memancarkan cahayanya paling terang, Baitullah menjadi perhiasan terindah di antara langit dan bumi. Suara murai yang bersahutan, menambah keanggunan malam, seolah-olah bintang-bintang yang terdiam di sekelilingnya ikut bersaksi atas kemuliaan Baitullah.

Baitullah, menjadi pusat spiritual dan jantung keimanan, mengajak setiap langkah yang masuk ke dalamnya untuk merasakan kehadiran Ilahi yang tak tergambarkan oleh kata-kata. Dalam sunyi malam, doa-doanya melayang sebagai untaian bunga melati, harum dan menyejukkan hati setiap peziarah yang mencari kasih dan keberkahan.

Baitullah, dengan segala keindahannya, tak hanya sekadar bangunan fisik, melainkan ciptaan yang mencerminkan kebesaran dan keesaan Sang Pencipta. Setiap sudutnya berbicara, setiap pahatan dan ukiran menggambarkan sejumput kebijaksanaan yang tak terduga. Baitullah, menjadi penanda di gurun pasir yang tak bertepi, tempat di mana doa-doa dan langkah-langkah yang dipenuhi rasa hormat dan ketaatan menuju takdir Ilahi, merangkul umat manusia dalam keagungan-Nya yang tak terhingga.

***

Dalam malam yang sunyi, Ibrahim, sang kesatria iman, tertidur dengan lelap di bawah payung bintang yang bersinar cerah di langit. Di dalam dunianya yang penuh dengan ketenangan, terkuaklah tirai kebatilan dan muncullah wahyu ilahi. Mimpi itu, sebuah wahyu yang terpahat dalam bayang-bayang malam, menjadi ujian berat yang mencoba keimanan seorang bapak dan keberlanjutan misi kenabian.

Dalam mimpi yang kemerahan, Ibrahim merasa panggilan yang menggetarkan jiwa. Suara yang lembut namun kuat memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Isma’il, yang merupakan buah hati yang telah lama dinantikan. Dalam gelapnya malam, di bawah cahaya rembulan yang memancar keindahan, Ibrahim merasakan getaran hati yang tak tergambarkan.

Langit yang seolah-olah bersaksi, dan bintang-bintang yang menyaksikan dari balik tirai langit, menjadi saksi bisu atas ujian besar yang menanti seorang bapak. Namun, tanpa ragu atau keraguan, Ibrahim, yang hatinya telah terpaut pada Tuhannya, meresapi makna mendalam perintah-Nya.

Ketika fajar melukis langit dengan warna-warna pertama, Ibrahim membangunkan Isma’il, sang anak yang terkasih. Dengan lembut, ia menyampaikan perintah yang datang dari Ilahi. Dalam kerelaan dan kepatuhan yang luar biasa, Isma’il yang penuh kebijaksanaan menerima perintah itu tanpa penolakan. Keduanya, bapak dan anak, bersiap-siap menghadapi ujian yang akan mengguncang dasar-dasar hati mereka.

Di tengah lembah yang teduh, Ibrahim menempatkan Isma’il dalam posisi yang mulia, dan di tangan ayahnya, Isma’il menatap mata sang bapak dengan kepasrahan yang memilukan. Tetapi, sebelum pisau tajam itu menyentuh leher Isma’il, Allah, Maha Penyayang dan Maha Bijaksana, menggantikan pengorbanannya dengan seekor domba yang suci.

Peristiwa itu, lebih dari sekadar ujian kepatuhan, adalah puncak dari kesetiaan Ibrahim pada Allah. Ketika matahari terbit dengan sinar hangatnya, Ibrahim dan Isma’il, bersama-sama menyelesaikan ujian penuh makna ini. Dalam detik yang membeku waktu, di sela-sela bayangan lembah, terlahirlah kebijaksanaan dan kepatuhan yang tak terkalahkan.

Kisah ini, diabadikan dalam cahaya fajar dan senja, menjadi lampu pemandu bagi setiap jiwa yang tengah diuji. Ibrahim, sang pahlawan iman, dan Isma’il, putra yang saleh, telah melalui ujian yang paling berat, menjadikan peristiwa itu sebagai contoh teladan tentang keimanan, kepatuhan, dan keteguhan hati dalam menghadapi segala ujian kehidupan.

Saat sinar matahari mencurahkan cahayanya, Ibrahim dan Isma’il, setelah melewati ujian berat yang telah diamanahkan oleh Allah, melanjutkan perjalanan kembali ke rumah mereka. Namun, di antara pepohonan dan perbukitan, setan yang terkutuk merencanakan tipu daya untuk menggoda keluarga mulia ini, yang telah menunjukkan keteguhan iman mereka.

Iblis, yang memiliki tekad jahat untuk merusak dan menggoyahkan keteguhan hati manusia, menyelinap dalam bayang-bayang. Dalam sosok yang merayap tak terlihat, ia mencoba mengganggu ketentraman dan kemenangan spiritual keluarga Ibrahim. Di tengah keterpencilan, suara bisikan setan mulai terdengar, mencoba meracuni pikiran dan merusak kebersamaan mereka.

Iblis menyamar sebagai seorang tua bijak yang lembut, berusaha meracuni pikiran Ibrahim dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk meragukan keputusan yang telah diambilnya. “Mengapa engkau bersedia menyembelih putramu sendiri?” bisik setan dengan senyuman licik, berusaha menyulut keraguan dalam hati Ibrahim.

Namun, keteguhan hati Ibrahim, yang telah teruji dalam api ujian sebelumnya, tetap tegar. Dengan mata yang bersinar keimanan, Ibrahim menjawab, “Aku hanya mengikuti perintah Tuhanku, dan Dia Maha Mengetahui apa yang layak dikerjakan oleh hamba-hamba-Nya yang tunduk.”

Isma’il, yang melihat kehadiran yang tidak wajar dalam sosok yang menyamar, mendekatkan diri pada ayahnya dan memberikan dukungan dengan senyumnya yang tulus. Ia, yang telah mengalami kesetiaan Ibrahim dalam peristiwa penyembelihan, menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam menghadapi godaan setan.

Bisikan-bisikan setan yang mencoba memecah belah keluarga Ibrahim gagal merobohkan tembok keteguhan hati mereka. Dalam ketulusan dan kesetiaan mereka kepada Allah, keluarga ini tetap utuh dan kokoh. Dengan kekuatan iman yang tak tergoyahkan, Ibrahim dan Isma’il terus melangkah, meninggalkan setan yang terkutuk itu terpaku dalam kegagalannya.

Sementara itu, matahari terus bersinar, menyinari perjalanan keluarga yang penuh ujian namun penuh berkah. Setan yang tergoda oleh kegigihan dan keteguhan iman keluarga Ibrahim akhirnya terpaksa menyelinap kembali ke kegelapan, tak mampu menghadapi cahaya keimanan yang bersinar dalam hati yang tulus.

Seiring keluarga Ibrahim menjauh dari tempat setan mencoba menggoda mereka, Ibrahim merasakan perlawanan keberanian dalam dirinya yang berapi-api. Namun, keberanian itu tak sebatas kata-kata atau tekad semata. Setan itu, yang masih berusaha memecah belah keluarga yang tengah membawa beban ujian, menjadi sasaran kemarahan dan keberanian Ibrahim.

Dalam puncak keputusasaan setan, Ibrahim mengambil segenggam kerikil kecil dari tanah yang diinjaknya. Dengan kekuatan yang datang dari keimanan yang teguh dan kemarahan yang tulus, Ibrahim melemparkan kerikil itu menuju setan yang terus merayunya. Kerikil kecil itu, seolah-olah menjadi batu yang dilemparkan oleh kemarahan yang tulus dan keberanian yang tak terkalahkan.

Setan yang terhuyung-huyung, tak mampu menghadapi serangan yang datang begitu mendalam. Ibrahim, dengan pandangan yang tajam dan hati yang penuh keyakinan, telah mengusir setan dengan keberanian yang mengalir dari ruang hatinya yang suci.

Tindakan itu, yang semula hanya merupakan tindakan spontan dari kemarahan dan tekadnya, diabadikan dalam peristiwa ibadah Jumroh. Di tengah-tengah kerumunan jamaah yang berbondong-bondong melempar jumroh di tiga tiang kecil, yang melambangkan tindakan keras dan penolakan terhadap setan, cerita tentang Ibrahim yang melemparkan kerikil ke setan terus diwariskan.

Pada setiap lemparan kerikil, jamaah memperingati peristiwa keteguhan hati dan keberanian Ibrahim yang tak tergoyahkan. Dalam ritual ini, mereka melemparkan kerikil sebagai tanda bahwa mereka menolak setan dan segala tipu daya serta godaannya. Ibadah Jumroh menjadi simbol nyata dari keberanian dan keimanan, memberikan pesan bahwa bahkan setan yang merayu dan menggoda pun dapat dikalahkan oleh tindakan keras dan keteguhan hati.

Sementara kerikil-kerikil itu meluncur di udara, Ibrahim dan Isma’il melangkah menjauh dari tempat ujian mereka. Dalam jejak mereka, tergambar kekuatan keimanan yang tak terkalahkan dan kesucian hati yang telah diuji dalam panasnya cobaan. Keberanian Ibrahim, yang terukir dalam lemparan kerikil, menginspirasi setiap jamaah untuk menghadapi godaan dunia dengan tekad yang kokoh dan keimanan yang teguh.

Di balik langit-langit langit yang cerah, Ibrahim dan Isma’il, dua sosok yang telah melewati ujian besar dan mengukir perjalanan suci dalam kehidupan mereka, tiba di suatu tempat yang menjadi awal dan akhir perjalanan ketaatan mereka pada Sang Pencipta. Mekkah, kota yang disucikan oleh langkah-langkah mereka, menanti dengan penuh keberkahan dan keagungan.

Sambil berdiri di padang pasir yang lembut, Ibrahim mengangkat kedua tangannya menuju langit, seakan-akan membawa seluruh harapan dan doa bagi kota yang telah menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya. Dengan suara yang mengalun merdu, doa keluar dari bibir Ibrahim, menjadi irama yang diterima oleh angin gurun dan diteruskan ke seluruh penjuru kota yang mulia.

“Oh Allah, Pemilik segala kehidupan, anugerahkanlah kemakmuran dan kedamaian bagi kota ini. Jadikanlah Mekkah sebagai tempat berkah dan rahmat, di mana umat manusia datang dari berbagai penjuru untuk bersujud di hadapan-Mu. Berkahilah penduduknya dengan keberkahan rezeki dan ilmu yang bermanfaat.”

Dalam doanya, Ibrahim memohon agar kota ini menjadi pusat ilmu dan kearifan, tempat di mana cahaya petunjuk menyinari setiap sudutnya. Ia berharap agar Mekkah menjadi tempat perjumpaan yang membawa kedamaian dan keberkahan bagi mereka yang mengunjunginya, mengharap ridha dan keampunan dari Sang Pencipta.

Isma’il, dengan hati yang penuh pengabdian, ikut meresapi doa sang bapak. Kedua mata mereka, yang pernah bersama-sama menatap cakrawala gurun pasir tandus, kini bersatu dalam doa yang merentangkan sayapnya hingga ke jauhnya masa depan kota ini.

Dengan kerendahan hati dan keteguhan iman, Ibrahim dan Isma’il meninggalkan jejak keberkahan di kota Mekkah. Setiap langkah dan doa mereka tertanam dalam tanah yang disucikan, membentuk warisan yang akan terus hidup dan memberikan buah kebaikan untuk generasi-generasi yang akan datang.

Dan saat angin gurun membawa getaran doa tersebut ke seluruh penjuru, Mekkah bersinar dalam kemuliaannya yang tak tergoyahkan. Doa Ibrahim yang penuh kasih dan ketulusan menjadi titik awal bagi perjalanan spiritual dan ketakwaan, membawa cahaya suci yang tak pernah padam bagi kota suci Mekkah.

***

Dalam bayangan gurun pasir yang sunyi,

Langkah kaki suci, Ibrahim dan Isma’il beriringan,

Ujian berat, cobaan tak terlupakan,

Keduanya teguh berdiri, tak goyah oleh badai zaman.

 

Di malam yang kelam, wahyu menyapa mimpi,

Penyembelihan yang mulia, ujian berat tak terperi,

Namun cinta kepada Sang Pencipta, memandu langkah,

Ibrahim dan Isma’il, jiwa-jiwa yang bersatu.

 

Dalam lemparan kerikil ke setan yang mencoba merayu,

Keteguhan hati Ibrahim, berkata pada dunia,

Bahwa keberanian dan keimanan adalah perisai,

Melawan godaan yang tak kenal kata tunduk.

 

Mekkah, kota mulia, saksi bisu perjalanan panjang,

Doa Ibrahim menyentuh langit, berkumandang lembut,

Kota yang disucikan oleh jejak kaki mereka,

Tempat berkah dan rahmat, di sana terukir harapan abadi.

 

Baitullah, suci dan agung, menyinari malam dan siang,

Simbol keimanan yang tak terhingga,

Dalam doa-doa, kita sambut keberkahan,

Harapkan ridha Ilahi di setiap langkah hidup yang panjang.

 

Dari jejak-jejak yang terukir di padang pasir tandus,

Kita petik pesan kebijaksanaan dan keimanan,

Ibrahim dan Isma’il, contoh teladan,

Dalam perjalanan hidup, jadilah bintang yang bersinar terang.

©2024. Baiturrahman. All Rights Reserved.

Scroll to Top