Ada satu pelajaran hidup untuk dipelajari. Namun dapat dirumuskan dalam berbagai cara, salah satunya adalah yang ditemukan dari A Course in Miracles yaitu “Pelajari Cinta, untuk itulah dirimu ada.”
Pernyataan ini menunjukan tujuan sekaligus alat untuk mencapainya. Selain itu juga mneyatakan bahwa esensi diri kita adalah cinta, serta bagaimana menerimanya dalam segala kesulitan, besar ataupun kecil. Berikan cinta, ajarkan kedamaian dan jangan berbalik menyerang dalam bentuk apapun untuk keamanan diri anda sebagai seorang guru.
Menjadi guru yang selalu dirindukan kedatangannya, disegani ketika berkata, menginspirasi setiap kebijakannya, serta ditangisi ketika kepergiannya adalah salah satu ciri dari guru yang mengajar denga cinta, mendidik dengan hati dan membina dengan suka cita. Guru yang seperti ini berarti sudah membangun ikatan batin yang kuat dengan siswa/santrinya. hal ini bisa terbentuk dari ketulusan sang guru dalam memberikan pendidikan dan pengajaran.
Dalam dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran di sekolah atau pesantren, pastinya ada tujuan yang akan dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya harus ada kerja sama yang baik dari segala pihak, baik itu guru, siswa/santri, orang tua, wali asrama dan juga lingkungan. Dalam hal ini, keharmonisan hubungan mutlak diperlukan.
Meredupnya nuansa kasih sayang dalam interaksi guru dan siswa/santri, cenderung melahirkan sikap guru yang suka menghukum dan siswa yang membangkang. Akhirnya guru lebih suka mengoceh dari pada berbelas kasih, guru lebih suka menghardik dari pada berempati.
Guru yang baik adalah guru yang melandasi interaksi dengan siswa/santrinya di atas nilai- nilai cinta dan kasih sayang. Dengan adanya cinta dan kasih sayang, maka keharmonisan hubungan akan terjalin dengan baik.
Saat ini guru bukanlah satu-satunya sumber informasi, dan pentransfer ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi yang menyediakan segala kemudahan, juga segala fasilitas yang mengasyikan, tidak dapat dipungkiri akan berpengaruh besar pada pembentukan kaerakter siswa/santrinya. Mereka cenderung menjadi sosok yang individualis, lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Hal-hal seperti ini juga akan berdampak pada karakter siswa/santri yang lebih mengedepankan emosi dalam bersikap.
Tidaklah elok, bila guru sering menyalahkan siswa/santrinya, saat mereka tidak memperhatikan apa yang guru ajarkan di kelas. Karena boleh jadi tindakan mereka adalah akibat kesalahan guru yang kurang tepat saat mengajar. Demikian dengan siswa/santri tak bijak menyalahkan guru, saat sang guru sering memberikan tugas. Karena, boleh jadi ketidaksukaan terhadap tugas itu karena rendahnya motivasi dan pasrat belajar pada siswa/santri tersebut.
Saling menyalahkan, bukanlah solusi tepat. Ini Tindakan yang tidak bijak. Solusi yang cerdas adalah dengan saling bercermin, melakukan refleksi diri satu sama lain (baik guru mupun siswa/santri) demi terwujudnya keindahan dalam bingkai Pendidikan.
Dalam situasi seperti ini diperlukan sosok guru yang mampu membimbing dan memberikan contoh keteladanan dalam penanaman sikap. Seorang guru harus memberikan ruh kasih dan sayang dalam prosess pembelajaran, tidak hanya di kelas tapi juga di luar lingkungan sekolah.
Disamping mengajar, tugas guru juga mendidik. Mendidik dipahami sebagai usaha guru mengantarkan siswa/santrinya kearah kedewasaan, perbaikan sikap dan karakter yang baik.
Oleh karena itu, selain mengajar dengan cinta, seorang guru juga harus mendidik dengan hati dan membina dengan suka cita.
Selamat Hari Guru Nasional, Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar