“Melodi Dakwah Nabi Syu’aib”
وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ
“Kepada penduduk Madyan, Kami (utus) saudara mereka, Syuʻaib. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagimu tuhan (yang disembah) selain Dia. Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah merugikan (hak-hak) orang lain sedikit pun. Jangan (pula) berbuat kerusakan di bumi setelah perbaikannya. Itulah lebih baik bagimu, jika kamu beriman.”
***
Di zaman yang telah berlalu, terhamparlah sebuah kisah kearifan dan keadilan yang diutus oleh Sang Maha Pencipta kepada umat manusia. Di antara gemerlap sejarah, terukirlah namanya dengan indah: Nabi Syu’aib, pilihan Allah yang diutus pada masa silam, berkisah dalam gemintang abadi.
Pada suatu ketika, cahaya kenabian menerangi langit-langit Madyan dan Aykah. Di bawah sinar bulan yang lembut, Syu’aib, pilihan Ilahi, muncul sebagai bunga kebenaran yang merekah di kebun dusta. Hatinya seperti mata air yang jernih, memancarkan kebijaksanaan dan kasih sayang.
Madyan, sebuah tanah subur dengan ujian dan godaan, dihuni oleh manusia-manusia yang terjerat dalam belenggu ketidakadilan dan keserakahan. Penguasa-penguasa mereka telah terpilih sebagai tiran yang memeras kehidupan rakyat jelata. Namun, di tengah kegelapan itu, Syu’aib tampil sebagai pelita yang memancarkan cahaya petunjuk.
“Ya kaumku, sembahlah Allah yang Maha Esa! Tidak ada tuhan selain-Nya. Sesungguhnya, kehidupan di dunia ini hanyalah kesenangan yang sesaat, dan akhiratlah tempat kembali yang sejati. Mengapa kalian terjerumus dalam kemaksiatan dan pelanggaran hukum? Allah telah memberikan nikmat-Nya, maka janganlah merugi dengan perbuatan zalim,” seru Syu’aib dengan suara yang lembut namun penuh kekuatan.
Namun, kaum Madyan dan Aykah, terpilin oleh keangkuhan dan ketamakan, memandang enteng seruan kebenaran. Mereka tetap terjerat dalam labirin keduniaan yang gelap, tak menyadari bahwa setiap lapisan waktu membawa mereka lebih dekat kepada kebenaran yang tersembunyi.
Syu’aib, sebagai pemandu yang sabar, terus berusaha membimbing mereka ke jalan yang benar. Dia menyuarakan keadilan, mengajarkan belas kasihan, dan mengingatkan akan akhirat yang abadi. Namun, keberanian Syu’aib tak selalu diiringi oleh pemahaman umatnya. Mereka tetap membalas kebaikan dengan kebingungan, dan seruan kebenaran dengan kebutaan hati.
Akhirnya, setelah serangkaian cobaan dan ujian, saat keadilan bersatu dengan takdir Ilahi, Madyan dan Aykah terhempas dalam kepunahan. Keangkuhan yang membisikkan dusta pun sirna, digantikan oleh hening yang memenuhi bumi. Namun, di balik kepunahan itu, ada kisah tentang bagaimana kebenaran, meskipun tampak terkalahkan, selalu memiliki tempat yang abadi dalam perjalanan sejarah.
Syu’aib, pilihan Allah, tidak henti-hentinya menjadi kilauan kebijaksanaan di dalam perjalanan umat manusia. Ia, yang berusaha menunjukkan jalan kebenaran, meninggalkan jejak kisah yang tak lekang oleh waktu. Dan di setiap generasi, cerita Syu’aib tetap menjadi pelajaran dan inspirasi, seakan menggema dari ruang-ruang sejarah, menyuarakan panggilan kebenaran kepada hati-hati yang terbuka.
***
Dari rimbunnya silsilah nasab yang terjalin dengan keanggunan sejarah, muncullah seorang pencerah, Syu’aib, yang menyinari lorong-lorong masa lalu dengan keadilan dan hikmah. Seiring mengalirnya generasi, nasabnya melintasi zaman, berjalan melewati padang pasir waktu hingga mencapai puncak kearifan dalam potret kehidupan manusia.
Syu’aib, putera Mikil yang bersinar dalam keturunan Yasjir, menemukan akarnya dalam kejayaan keluarga Madyan. Sebuah keturunan mulia yang menorehkan namanya dalam helaian sejarah, tumbuh di bawah naungan bayang-bayang kesucian leluhurnya, Ibrahim, sang bapak bangsa yang menjadi panglima bagi orang-orang yang mendambakan petunjuk.
Dalam setiap simpul nasabnya, ada jejak-jejak kenabian yang menyatu erat dengan kisah-kisah kebijaksanaan. Dari Ibrahim, pemimpin yang dicintai oleh langit dan bumi, hingga Azar, yang melepaskan diri dari gelapnya kekufuran, Syu’aib menjelajahi warisan luhur yang menjadi bekal batinnya.
Madyan, tanah yang dinaungi oleh bayu kesunyian dan hembusan arus sejarah, menjadi saksi bisu bagi panggilan kebenaran Syu’aib. Dengan sorot matanya yang tajam dan bibirnya yang sarat kata bijak, ia berdiri di antara manusia-manusia yang terbelenggu oleh kesesatan, membawa sinar petunjuk yang mencerahkan kegelapan hati.
Dalam dakwahnya, Syu’aib menjadi melodi indah yang merayu hati yang terkungkung dalam dosa. Juru pidato yang menjelma menjadi wakil Tuhan di muka bumi, menyingkap tabir kegelapan dengan kata-kata yang mengalun seperti alunan kicau burung di pagi yang cerah.
“Wahai kaumku yang terbuai dalam keduniawian! Sembahlah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan berhentilah menyembah patung-patung bisu yang tak dapat memberikan kehidupan. Sesungguhnya, hidup ini adalah ujian, dan kebenaran adalah tongkat penuntun kita. Janganlah kalian tenggelam dalam lautan dosa, melainkan terdamparlah di pantai keimanan yang luas.”
Namun, meskipun kata-kata Syu’aib mengalun dalam udara sejuk Madyan, kebanyakan hati tetap berdegup dalam irama keingkaran. Kesombongan menghalangi penduduk Madyan untuk mendengar seruan kebenaran yang diusung oleh juru pidato pilihan Allah.
Namun, tidaklah surut Syu’aib dalam menegakkan bendera kebenaran. Dia bertahan dengan kesabaran yang menyejukkan seperti hujan di musim kemarau, berharap bahwa suara kebenaran akan menembus lapisan hati yang paling dalam.
Seiring berjalannya waktu, takdir Allah pun menutup lembaran kisah Syu’aib di Madyan. Meskipun terjal dan penuh liku, kisahnya membuktikan bahwa kebenaran adalah cahaya yang tak pernah redup, bahkan di tengah kegelapan yang paling pekat sekalipun.
Nasibnya terangkat dan turun bersama angin sejarah, namun Syu’aib tetap mengilhami jiwa-jiwa yang merindukan petunjuk Ilahi. Sebab, di setiap hembusan angin, di setiap guratan pasir Madyan, terukirlah kisah indah seorang pencerah, Nabi Syu’aib, sang juru pidato yang menawarkan jalan kebenaran dengan keindahan dan keanggunan yang tak terlupakan.
***
Di antara pesisir Laut Merah dan gemuruh Gunung Sinai, terdapat kisah kelam kaum Madyan yang dihamparkan oleh kebusukan dan kesombongannya. Syu’aib, pilihan Ilahi, berdiri di hadapan mereka seperti tiang yang kokoh menahan badai, membawa pesan kebenaran yang seolah terlupakan oleh pepohonan lebat di tanah gurun Aykah.
Kaum Madyan, yang dikenal dengan ketidakjujuran mereka dalam timbangan dan ukuran, menyembah berhala yang disebut al-Aykah. Sebidang tanah gurun yang tumbuh subur di dalam kehampaan hati. Mereka tenggelam dalam keterlenaan dunia, melupakan Tuhannya, dan tenggelam dalam lembah kegelapan yang diselimuti oleh pepohonan yang menyelimuti kebenaran.
Dengan sabar dan penuh kelembutan, Syu’aib berdiri sebagai penjelmaan kebenaran di antara mereka. Suaranya meliuk seperti sungai yang membelah padang pasir, mencoba menggugah hati yang terkungkung dalam kesesatan. “Wahai kaumku, sesungguhnya Allah adalah pencipta langit dan bumi. Tinggalkanlah penyembahan berhala kalian yang tak mampu memberikan manfaat dan bahkan tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri.”
Namun, keras kepala mereka menggema di antara bukit-bukit Aykah yang menutupi pandangan mereka. Syu’aib dengan hati yang pilu menceritakan kisah-kisah utusan-utusan Allah yang terdahulu, Nuh, Hud, Shaleh, dan Luth. Mereka yang terbina dalam kebenaran, tetapi diabaikan oleh kaumnya, hingga akhirnya ditelan oleh gelombang kemarahan Ilahi.
Meski dihadapkan dengan kisah-kisah yang menjadi rahmat dan pelajaran, kaum Madyan tetap berpaling. Mereka, yang menutup hati mereka dari cahaya petunjuk, enggan mengikuti jalan yang benar. Ketabahan Syu’aib diuji oleh sikap mereka yang terus-menerus berpaling dari kebenaran yang disampaikannya.
Akhirnya, Allah memutuskan untuk menghukum kaum Madyan yang telah jauh menyimpang. Azab-Nya turun dengan kehangatan udara yang mengeringkan segala sesuatu di sekitarnya, gempa bumi yang memporak-porandakan fondasi kezaliman, dan bunga api yang membara membakar segala yang tersisa dari kefasikan.
Pesisir Laut Merah yang sejuk berubah menjadi padang gurun yang tandus. Hembusan angin menyapa pepohonan yang dulu lebat, menyisakan jejak kebenaran yang tetap hidup dalam ingatan dan hati mereka yang masih membeku dalam penyesalan.
Kisah Madyan menjadi tonggak pembelajaran bagi generasi-generasi berikutnya. Bagaimana keangkuhan dan ketidakpatuhan kepada petunjuk Tuhan dapat meruntuhkan peradaban yang kokoh sekalipun. Sebuah kisah yang mengajarkan kita tentang pentingnya merangkul kebenaran dan merenung dalam hati, sebelum hukuman Ilahi turun dengan kepastian yang tak terhindarkan.
***
Di tengah gemuruh kebodohan dan ketidaktaatan, Syu’aib, sang pencerah, menghadapi liku-liku dakwah yang dipenuhi dengan ejekan dan celaan. Kaum Madyan, yang telah terpaut begitu kuat pada warisan sesembahan nenek moyang, menolak keras pesan kebenaran yang diembannya. Sorot mata mereka, keras dan penuh keteguhan, tidak tergetarkan oleh kata-kata kebenaran yang terangkai indah di bibir Syu’aib.
Namun, seperti matahari yang tak henti menyinari, Syu’aib melangkah dengan langkah lembut dan hati penuh kesabaran. Ejekan dan cemooh yang dilemparkan kepadanya menjadi belati-benalu yang menempel di jubah kesucian dakwahnya. Ia tak pernah membalas dengan kedengkian, melainkan menjawab dengan senyum yang penuh kebaikan, seolah-olah rindu untuk menyentuh hati yang beku oleh kekakuan keyakinan.
“Demi Allah, wahai kaumku! Aku tidak datang untuk menggagalkan kepercayaan kalian, tetapi untuk membawa kalian kepada cahaya kebenaran yang menerangi jalan kalian. Bersikaplah adil dalam timbangan dan ukuran, janganlah terlena oleh kebohongan yang ditinggalkan oleh leluhur kita. Mereka adalah manusia biasa yang tak luput dari dosa dan kesalahan.”
Syu’aib, dengan hati yang tulus, bahkan mengungkapkan bahwa darahnya mengalir seiring dengan darah kaum Madyan. Ia membagikan ikatan keluarga yang tak terelakkan, sebagai bukti bahwa panggilan kebenaran yang diembannya bukanlah semata-mata upaya menggugat keberlanjutan garis keturunan. Ia ingin membuka mata dan hati mereka, agar melihat bahwa kebenaran itu adalah panggilan kepada keadilan, bukan konflik di antara kaum sendiri.
Namun, di tengah gemuruh kata-kata bijaknya, Syu’aib tak luput dari tuduhan yang menyakitkan. Kaum yang keras hati menganggapnya sebagai penyihir ulung, seorang pesulap yang berusaha mengacaukan kepercayaan mereka. Namun, Nabi Syu’aib tak gentar. Seperti pohon yang tetap teguh meski diterpa angin kencang, ia melanjutkan misinya dengan keberanian yang tak tergoyahkan.
Dalam setiap teguran yang dilontarkan oleh lidah angkuh kaumnya, Syu’aib menjawab dengan kesederhanaan dan kebijaksanaan. “Wahai kaumku, sesungguhnya kebenaran itu tak akan pernah menghancurkan, tetapi justru memberi kehidupan yang sejati. Tidak adakah di antara kalian yang ingin menapaki jalan yang lurus, menjauhi kekakuan dan mengembangkan keberanian untuk mencintai kebenaran?”
Dan dalam senandung dakwahnya, Syu’aib tetap melangkah, membawa sinar kebenaran yang membelah malam kegelapan. Meskipun dihempas oleh gelombang ejekan dan cemoohan, dia tetap melantunkan lagu keadilan dan kebijaksanaan yang menggugah hati. Sebab, dia adalah pembawa cahaya di tengah kegelapan, juru pidato yang tak pernah lelah menabur biji kebenaran di tanah gersang hati manusia.
***
Di dalam keheningan gurun pasir, tempat duduk Nabi Syu’aib menjadi panggung pertimbangan yang penuh getir. Dia, sang pemberi petunjuk yang sabar, telah merayu hati kaum Madyan dengan kata-kata bijak, namun kebanyakan dari mereka tetap terkungkung dalam kesesatan dan ketidakpatuhan.
Malam yang kelam menyelubungi hamparan pasir, dan Syu’aib, pilihan Ilahi, menemui keheningan yang menyisakan kerinduan. Di sujudnya yang khusyuk, ia merayakan pertemuan dengan Sang Pencipta, mencurahkan hati yang terkoyak oleh keengganan kaumnya.
“Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, pemilik segala hati! Engkau yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan yang terang. Wahai Pemilik segala kebenaran, ternyata hati mereka telah tertutup rapat dari sinar petunjuk-Mu. Kaum Madyan, yang ku cintai, telah menolak cahaya kebenaran-Mu. Ya Allah, turunkanlah azab yang pantas bagi mereka, agar mereka tersadar dan kembali kepada-Mu.”
Doa Syu’aib merayap melewati langit-langit malam, menjadi semesta yang meresapi kehendak dan harapan sang nabi. Keberanian dalam doanya seolah menciptakan dentuman di alam semesta, memohon agar Tuhan menegur dengan keras mereka yang telah melanggar garis kebenaran.
Ketika Syu’aib merenungkan azab yang mungkin turun, bayangan kehancuran dan ketegangan menyelimuti hatinya. Tetapi, teguhlah tekadnya dalam memohon azab ini sebagai panggilan terakhir bagi kaum Madyan. Sebab, dalam dasar hati yang dalam, dia tahu bahwa seringkali azab adalah bentuk kasih sayang terakhir Tuhan bagi mereka yang menyimpang.
Waktu berlalu, dan langit membisu. Tidak ada guruh yang membawa jawaban, namun Syu’aib tetap bertahan dalam doanya, dengan keyakinan bahwa Tuhan Maha Mendengar, dan setiap doa yang tulus akan dijawab pada waktu yang tepat.
Pada saat yang tak terduga, awan-awan kegelapan mulai merayap di langit Madyan. Angin berbisik, mengusap pipi gurun yang haus. Tanpa aba-aba, hujan pasir mulai menari di angkasa, mengiringi langkah-langkah keadilan Ilahi. Syu’aib, yang masih bersujud, merasakan gemuruh di dalam hatinya. Doanya, terucap atau tidak, telah dijawab oleh Yang Maha Kuasa.
Azab itu turun seperti rahmat yang menghampiri tanah yang merindukan air. Hujan panas yang membakar, gempa bumi yang menjeritkan kesakitan, dan bunga api yang membakar segala yang tersisa. Madyan terhempas dalam kepunahan, seperti batu besar yang jatuh ke dalam danau yang tenang.
Namun, di balik pemandangan kehancuran, Syu’aib memandang dengan mata yang penuh rahmat. Azab yang turun bukan sekadar hukuman, melainkan juga panggilan untuk menyadarkan. Sebab, di balik keruntuhan itu, mungkin saja tumbuh kuncup keimanan dan kebenaran yang baru.
Dalam malam yang penuh azab, Syu’aib membiarkan tangisannya menyatu dengan angin. Doa yang diucapkannya menjadi doa terakhir bagi kaumnya, sekaligus permohonan agar mereka dapat menemukan jalan menuju rahmat dan ampunan Tuhan yang Maha Pemurah.
***
Di antara puing-puing kepunahan, Syu’aib berdiri seperti pohon kesabaran yang tetap tegak di tengah badai. Hati yang tulus ikut merasakan duka dan haru melihat bekas-bekas kehidupan yang dulu merajai tanah Madyan, kini menjadi lautan reruntuhan yang menyisakan cerita dan pelajaran bagi masa depan.
Sinar mentari mulai menampakkan diri di ufuk timur, memberikan cahaya baru setelah kegelapan malam yang mendalam. Dalam cahaya fajar itu, Syu’aib menyadari bahwa azab itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju pemulihan dan kebaikan yang lebih besar. Ia tahu, bahwa di balik setiap ujian, ada rahmat dan kesempatan untuk berubah.
Dengan langkah yang ringan namun penuh kebijaksanaan, Syu’aib berjalan di tengah reruntuhan itu. Ia tidak mengecam, melainkan mengajak mereka yang tersisa untuk merenung, memahami makna di balik azab yang turun. Dalam setiap langkahnya, Syu’aib membawa pesan harapan, bahwa di tengah kehancuran, masih ada peluang untuk bangkit dan membangun kembali kehidupan.
“Wahai yang tersisa dari kaumku, mari kita berpikir dan merenung bersama. Azab yang kita alami adalah buah dari perbuatan yang keliru, tetapi di dalamnya terkandung pelajaran berharga. Allah Maha Pemurah, Dia memberi kita kesempatan untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Marilah kita bangun dari puing-puing ini, membangun fondasi baru yang kokoh di atas kebenaran dan keadilan.”
Dalam panggilan Syu’aib, ada suara kelembutan yang merangkul hati yang remuk. Terdengarlah suara cahaya yang memandu mereka keluar dari kegelapan menuju terangnya petunjuk. Beberapa yang tersisa dari kaum Madyan mulai mendengarkan, mengambil pelajaran dari azab yang telah melanda mereka.
Perlahan tapi pasti, di tengah padang gurun yang sepi, tanah Madyan mulai hidup kembali. Syu’aib, sang pemberi petunjuk, menjadi tukang kebun yang menyirami tanaman kebaikan dengan air dari mata air rahmat Ilahi. Cahaya kebenaran yang pernah diteriakkan dalam dakwahnya, kini bersinar dalam hati yang terbuka.
Syu’aib melanjutkan perannya sebagai pemandu, membimbing mereka yang tersisa untuk membangun komunitas baru yang berlandaskan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan ketaqwaan kepada Allah. Azab yang turun, baginya, adalah bukan akhir, melainkan pembuka pintu menuju perubahan yang lebih baik.
Maka, tanah Madyan yang dulu terhempas oleh azab, kini menjadi ladang kesucian dan kebenaran. Syu’aib, sang nabi dan pemberi petunjuk, tetap berada di antara mereka, mengingatkan bahwa di setiap titik hitam kehidupan, selalu ada peluang untuk tumbuh menjadi bunga kebaikan yang indah dan harum.
***
Kisah Nabi Syu’aib ‘alaihis salam mengandung hikmah-hikmah yang mendalam, memberikan pelajaran berharga untuk setiap jiwa yang mencari petunjuk dan kebijaksanaan. Beberapa hikmah tersebut antara lain:
Nabi Syu’aib menunjukkan keteladanan dalam kesabaran dan ketekunan dalam menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Meskipun dihadapkan dengan ejekan, celaan, dan penolakan, beliau tetap teguh dan tidak berputus asa. Hikmah ini mengajarkan kita betapa pentingnya sabar dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan dalam berdakwah.
Keberanian Nabi Syu’aib untuk menegur kecurangan dan ketidakjujuran dalam timbangan dan ukuran menekankan pentingnya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Hikmah ini mengajarkan kita untuk senantiasa berlaku adil dan jujur dalam segala aspek kehidupan, serta menolak segala bentuk penipuan dan ketidakadilan.
Kisah Nabi Syu’aib mengingatkan kita bahwa kebenaran sering kali harus bertentangan dengan tradisi dan warisan keluarga yang sesat. Hikmah ini mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada kebiasaan dan keyakinan yang sesat, melainkan berani menolak dan mencari kebenaran yang hakiki.
Dalam doanya, Nabi Syu’aib memohon agar azab turun sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada kaumnya. Ini mengajarkan kita bahwa azab bukan hanya hukuman, melainkan juga panggilan agar manusia bertaubat dan kembali kepada-Nya. Hikmah ini mengingatkan kita akan kasih sayang Tuhan yang senantiasa memberi peluang kepada hamba-Nya untuk memperbaiki diri.
Nabi Syu’aib menerima takdir Allah dengan hati yang lapang dada. Bahkan ketika azab menimpa kaumnya, beliau tetap berupaya membimbing mereka menuju kebenaran. Hikmah ini mengajarkan kita untuk menerima takdir dengan kesabaran dan tetap berusaha melakukan kebaikan meskipun di tengah cobaan.
Peran Nabi Syu’aib sebagai pembawa petunjuk dan perubahan bagi masyarakatnya menggambarkan bahwa utusan Allah memiliki tanggung jawab besar dalam membimbing umat ke jalan yang benar. Hikmah ini mengajarkan kita akan peran penting para pemimpin agama dan spiritualitas dalam membentuk masyarakat yang adil dan bertaqwa.
Kisah Nabi Syu’aib mengajarkan kita bahwa setiap kehidupan penuh dengan ujian, dakwah membutuhkan kesabaran, keadilan harus ditegakkan, dan penolakan terhadap kebenaran keliru adalah suatu keharusan. Hikmah-hikmah ini memberikan landasan moral dan spiritual yang kokoh untuk membimbing kita dalam mengarungi perjalanan hidup ini.
***
Di bawah cakrawala cinta dan kasih,
Nabi Syu’aib bersimpuh dalam doa yang tulus.
Timur Sinai menyaksikan lantunan suci,
Dari bibirnya, doa menjadi petualang roh.
Ejekan terdengar, di antara pasir dan bayu,
Kaum Madyan menolak sinar kebenaran yang nyata.
Syu’aib, sang pemberi petunjuk, melangkah tanpa ragu,
Dalam dakwahnya, hujan pesona tumbuh di gurun yang gersang.
Sabar Syu’aib bagai bintang di malam yang kelam,
Mengilhami jiwa yang lelah dan hati yang terluka.
Ketidakadilan terukir di timbangan tak seimbang,
Namun, dia tetap berdiri, mengajarkan keadilan yang tulus.
Saudara mereka, katanya, dalam sujud bersatu,
Darah yang mengalir, cinta yang mengikat hati.
Namun, kaum Madyan menolak belas kasih itu,
Ejekan menjadi bayang-bayang di sepanjang hari.
Dalam doa, Syu’aib merayu langit,
Azablah, ya Allah, sebagai cinta yang tulus.
Teriakan guruh mengantar hujan api,
Madyan terhempas, dalam hening kesadaran.
Namun, di bawah cakrawala yang terang,
Syu’aib berjalan di antara puing-puing kehancuran.
Bukan akhir, melainkan awal perubahan,
Dalam setiap serpihan, ada benih kebaikan yang tumbuh.
Lagu kebenaran terus bergema,
Bunga keadilan mekar di tanah yang gersang.
Syu’aib, sang pemberi petunjuk, menuntun mereka,
Membangun kembali dari puing-puing kebenaran yang tenggelam.
Jika suatu saat kau berjalan di padang gurun,
Dengarkanlah cerita angin yang membisikkan kebenaran.
Dalam bait-bait syair, terukir kisah Nabi Syu’aib,
Penuh hikmah, indah, dan mempesona, selamanya.